Oleh: Calvin Dachi, MAIE, MTh
Pendahuluan
Salah satu
permasalahan yang sering diperdebatkan dalam gereja selama bertahun-tahun
adalah persoalan baptisan. Persoalan ini
memiliki arti penting dalam kehidupan umat Kristen karena baptisan adalah salah satu sakramen yang
ditetapkan oleh Tuhan Yesus sehingga kebenaran praktek dan pemahamannya sangat
diutamakan oleh umat/jemaat. Perbedaan
praktek dan pemahaman tentang baptisan telah menyebabkan adanya saling tuduh
yang pahit di antara umat Kristen dengan saling menuduh orang lain sebagai
sesat, bidat dan sebagainya.
Dipihak lain, berbagai kepentingan
juga mewarnai penjelasan dan perdebatan di kalangan jemaat dan
pendeta/gembala. Salah satu kepentingan
yang cukup mencolok adalah kekuatiran bahwa “domba-domba” yang digembalakannya
pindah “kandang” orang lain. Kepentingan
lain adalah kepentingan teologis dari para teolog dan pendeta/gembala untuk
menghormati para pemimpin rohani gereja di masa lampau dan warisan
tradisi/doktrin dan keputusan-keputusan bersejarah dalam gereja. Penulis berpendapat bahwa alangkah baiknya
jika kita berusaha menghindarkan diri dari bias kepentingan denominasi dan
mendasarkan pemahaman kita sepenuhnya berdasarkan Alkitab. Ini jauh lebih konsisten dan sejalan dengan
semboyan reformasi Sola Scriptura.
Menginventarisir Permasalahan
Secara umum,
permasalahan baptisan masa kini dapat dirumuskan dalam dua pertanyaan utama:
1.
Cara Baptisan.
Pertanyaan dasar
yang sering muncul dalam jemaat adalah cara mana yang benar, dipercik atau
selam? Pertanyaan ini jelas berangkat
dari ketidaktahuan atas arti baptisan dan di pihak lain, kata baptisan telah
menjadi terminology keagamaan yang dilepaskan dari arti aslinya ketika gereja
tidak lagi menggunakan bahasa Yunani.
2.
Siapa
yang dibaptis: Apakah baptisan anak itu
sah atau tidak? Berkaitan dengan permasalahan ini, perdebatan yang terjadi
umumnya lebih bersifat teologis dan eksegetis.
Argumentasi teologis yang menolak baptisan anak adalah pandangan
teologis bahwa yang dibaptis adalah mereka yang percaya, sedangkan argumentasi
mereka yang menerima baptisan anak adalah didasarkan pada pandangan bayi juga
sudah terhisab dalam perjanjian Allah sebagaimana praktek sunat dalam
Perjanjian Lama.
Praktek Baptisan dalam Gereja Purba
Dari
penelitiannya atas tulisan-tulisan bapa-bapa gereja, Th van den End
mendeskripsikan praktek baptisan di gereja purba pada abad ke 2 M adalah sebagai
berikut:
Baptisan dilayankan dalam upacara
tersendiri, di luar kebaktian umum.
Sebagai persiapan, calon baptisan harus berpuasa. Ia menyatakan imannya dengan rumus tertentu
(yang kemudian berkembang menjadi pengakuan iman rasuli). Lalu ia dibaptis, pada umumnya dengan diselamkan
(seluruhnya atau sebagian), tetapi kalau air tidak cukup, maka penyiraman juga
boleh…. Pada abad ke-2, pembaptisan
anak-anak ada, tetapi tidak sering, karena kebanyakan orang Kristen merasa
bahwa dengan itu sakramen baptisan dianggap enteng. Pendapat itu didasari keyakinan bahwa
pembaptisan menganugerahkan pengampunan dosa;
kalau setelah dibaptis orang berdosa lagi pengampunan itu harus
diperoleh lewat perbuatan penyesalan yang susah, dan dalam hal dosa berat malah
sama sekali tidak mungkin memperoleh pengampunan.[1]
Gambaran yang
diberikan oleh van den End di atas memberikan beberapa informasi mengenai mengenai
praktek baptisan di gereja purba di abad ke 2 M. Yang
pertama, baptisan dilaksanakan dengan cara diselamkan. Praktek baptisan dengan cara penyiraman hanya
dilakukan jika kondisi tidak memungkinkan melakukan penyelaman orang yang
dibaptis. Kedua, pembaptisan anak-anak sudah ada, tetapi tidak sering. Artinya, sampai abad kedua, umat Kristen pada
umumnya melaksanakan baptisan terhadap orang dewasa. Walaupun sudah ada pembaptisan anak-anak,
namun kebanyakan orang Kristen tidak setuju dengan baptisan anak-anak. Ketidaksetujuan ini mengindikasikan bahwa
para rasul kelihatannya tidak pernah melakukan pembaptisan anak-anak sehingga
jemaat tidak punya teladan atau pegangan rasuli yang kokoh untuk baptisan
anak. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan, bahwa argumentasi-argumentasi yang membela praktek baptisan anak
bukan berasal dari para rasul, melainkan dari bapa-bapa gereja seperti Justinus
Martir.
Penggunaan kata Baptis dalam Alkitab
Kata Baptis
dalam Alkitab berasal dari kata βάπtω//βάπtιζω yang berarti menyelamkan.
Dalam
penerjemahan Alkitab pada umumnya semua versi terjemahan Alkitab tidak
menerjemahkan kata baptis pada ayat-ayat yang mengacu kepada upacara
pembabtisan. Akibatnya terkesan bahwa
dalam Alkitab, kata “baptis” hanya dipakai dalam kaitannya dengan upacara
baptisan. Namun anggapan ini
keliru. Sebenarnya dalam Alkitab
berbahasa Yunani, kata baptis tidak hanya digunakan untuk menyebut upacara
pembaptisan, tetapi juga digunakan dalam menceritakan peristiwa lainnya. Dalam Alkitab terjemahan, hal ini tidak
kelihatan karena kata baptis sudah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa lainnya ketika Alkitab diterjemahkan. Marilah kita melihat beberapa contoh
penggunaan kata “baptis” dalam Alkitab yang langsung diterjemahkan oleh LAI.
Contoh 1:
Lukas 16:24 Lalu ia berseru,
katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan
ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam
nyala api ini.
Luk
16:24 καὶ
αὐτὸς φωνήσας εἶπε· πάτερ ᾿Αβραάμ, ἐλέησόν με καὶ πέμψον Λάζαρον, ἵνα
βάψῃ τὸ ἄκρον τοῦ δακτύλου αὐτοῦ ὕδατος καὶ καταψύξῃ τὴν γλῶσσάν μου,
ὅτι ὀδυνῶμαι ἐν τῇ φλογὶ ταύτῃ.
Dalam Lukas
16:24, kata mencelupkan adalah terjemahan dari βάψῃ, yaitu kata kerja subjunctive
aorist aktif orang ke 3 tunggal dari βάπtω/.
Contoh 2:
Mark 7:4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan
kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang
mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas
tembaga.
Mar
7:4 καὶ
ἀπὸ ἀγορᾶς, ἐὰν μὴ βαπτίσωνται, οὐκ ἐσθίουσι· καὶ ἄλλα πολλά ἐστιν
ἃ παρέλαβον κρατεῖν, βαπτισμοὺς ποτηρίων καὶ ξεστῶν καὶ χαλκίων καὶ κλινῶν·.
Kata "mencuci" dalam Markus 7:4 berasal dari βαπτισμοὺς
(kata benda akusatif maskulin jamak dari βαπτισμος), sedangkan “membersihkan dirinya” berasal dari βαπτίσωνται (kata kerja
subjunctive aorist middle orang ke3 jamak dari βάπtιζω)
Contoh 3:
Luk 11:38 Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena
Yesus tidak mencuci tangan-Nya sebelum makan.
Luk
11:38 ὁ
δὲ Φαρισαῖος ἰδὼν ἐθαύμασεν ὅτι οὐ πρῶτον ἐβαπτίσθη πρὸ τοῦ ἀρίστου.
mencuci
tangan adalah terjemahan dari ἐβαπτίσθη adalah kata kerja indikatif aorist pasif orang ke 3 tunggal dari βάπtιζω.
Contoh-contoh
yang diberikan di atas memperlihatkan bahwa pada masa Perjanjian Baru, kata
baptis (βάptω/, βάπtιζω, βαπτισμοὺς) diterjemahkan dengan arti mencelup, mencuci, membersihkan diri yang
kesemuanya merupakan aktifitas dimana seseorang memasukkan benda atau anggota
badan atau tubuhnya ke dalam air. Kata
“baptis” pada masa Perjanjian Baru adalah kata yang lazim dipakai dalam
percakapan sehari-hari. Pemakaian kata
baptis pada masa Perjanjian Baru dapat dianalogikan dengan cara kita memakai kata celup atau selam pada zaman
sekarang. Sebagai contoh, jika orang Yunani masa Perjanjian Baru bermaksud
menerjemahkan kata “teh celup”, mereka akan mengatakan “teh baptis” (tentu
dengan tata bahasa yunani).
Disamping itu, dari contoh-contoh di atas, tidak ada kemungkinan sedikitpun
bahwa kata “baptis” bisa diartikan dengan percik. Kata percik dalam bahasa Yunani adalah ραντισμὸς (rantismos, kata benda) atau ραντιζω (rantidso, kata kerja). Di dalam Alkitab kata
rantismos atau rantidso ini dipakai di dalam 1 Petrus 1:2; Ibrani 9:13 dan
21. Bagi pengguna bahasa Yunani pada
masa perjanjian baru, tentu sangatlah aneh kalau seseorang mengatakan
baptis/selam sedangkan yang dilakukannya adalah memercikkan air (rantidso).
Kesimpulan:
Terlepas dari pro kontra tentang baptisan
anak-anak, berdasarkan uraian diatas,penulis berkesimpulan bahwa baptisan yang
alkitabiah seharusnya dilakukan dengan cara mencelupkan atau menyelamkan seseorang
ke dalam air. Jika kita mau
mempertahankan cara memercikan air kepada seseorang, maka seharusnya namanya
bukan “sakramen baptisan”, melainkan” sakramen rantisan”. Tetapi jika kita mau mempertahankan terminology
sakramen baptisan, maka seharusnyalah kita juga mencelupkan/menyelamkan
seseorang dalam air sehingga pelaksanaanya sesuai dengan namanya.
Daftar Pustaka:
End, Th van den, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Klauser, Theodor, Sejarah Singkat Liturgi Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Moulton, Harold K. (ed.), The Anaytical Greek
Lexicon Revised. Grand Rapids: Zondervan Publishing House.
Wenham, J.W., Bahasa
Yunani Koine. Diterj. oleh Lynne Newel.
Malang: SAAT, 1987.
Young, Richard A., Intermediate New Testament Greek: A Linguiostic and Exegetical
Approach. Tennessee: Broadman &
Holman Publisher, 1994.
[1] Th van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995), hal 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar