Kamis, 16 April 2015

FATELE (TARI PERANG NIAS)


Ole:h Calvin Dachi, MAIE, MTh


Fatele adalah salah satu seni pertunjukan Tari Perang dalam budaya Nias Selatan. Istilah ini diambil dari seni memperagakan keahlian berperang yang dilakukan secara solo/tunggal, untuk memperlihatkan keahlian seseorang menggunakan baluse (perisai), toho (tombak) dan gari/tolőgu (pedang). Di masa lampau, keahlian  tersebut sangat penting karena orang Nias sering mengalami bahwa banua (desa) tempat tinggal mereka diserang oleh nemali (musuh). Peristiwa perang (Nias: fanufo) tersebut secara kultural direkam dalam sebuah reportoar yang sering disebut fatele, menjadi sebuah seni pertunjukan yang bersifat teatrikal. Di dalam seni pertunjukan ini diceritakan bagaimana sebuah banua berjuang mengalahkan musuh yang menyerang mereka. Sebuah perjuangan yang diceritakan dengan musik vokal hoho beserta sastra lisannya, tarian faluaya, dan seni beladiri yang menyatu di dalamnya. Namun, fatele bukan hanya cerita perjuangan banua menghadapi kekuatan perusak yang menyerangnya, fatele juga menampilkan sebuah perayaan karena banua tersebut berhasil berjuang untuk tetap eksis dan meneruskan kehidupannya.

Dalam konteks yang tradisional, Fatele biasanya ditampilkan di halaman desa tradisionil (newali banua).  Newali banua adalah sebuah halaman desa yang dilapisi dengan batu-batu persegi empat.  Di bagian kiri-kanannya berjejer dengan rapi dan indah puluhan/ratusan rumah-rumah adat tradisional Nias menghadap ke halaman desa.  Di halaman desa ini, di depan rumah adat tradisionil dibangun daro-daro (tempat duduk dari batu), hombo batu (lompat batu), dan bale (tempat pertemuan tradisional Nias). Dalam setting panggung seperti inilah biasanya Fatele ditampilkan oleh desa-desa di Nias Selatan, khususnya kecamatan Teluk Dalam.

Konsep tradisionil ini penting untuk dipahami karena memiliki konsekwensi logis terhadap sebuah group seni pertunjukan tradisi.  Khusus di Teluk Dalam, sebuah group seni pertunjukan selalu merupakan group kesenian desa/banua, yang didukung oleh seniman-seniman dari desa itu sendiri, dan membawakan seni pertunjukan yang diakui sah oleh desa bersangkutan. Oleh karena itu, setiap desa memiliki seni pertunjukan yang berbeda-beda pula.  Dalam tulisan ini, seni pertunjukan Fatele atau tari perang yang penulis ceritakan adalah yang berasal dari desa Hilisimaetanő.  Secara kronologis, sebuah pertunjukan fatele adalah sebagai berikut:
  1. Pertama-tama: Group si fatele ini berbaris dalam formasi tiga barisan, memanjang ke belakang sambil memegang tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.  Penyanyi hoho kemudian membawakan Hoho ba fe’aso, sebuah nyanyian pembuka yang mengungkapkan tujuan dari kedatangan sebuah group/desa. 
  2. Kemudian diikuti dengan foalő, sebuah tarian yang diiringi dengan hoho Foalő.  Ciri khas hoho ini adalah diawali dengan syair: Beta’ő gaő, beta’ő gaő ya tumőrő (=silakan minggir , silakan minggir, ada yang mau lewat).  Dalam konsep tradisi, syair ini berhubungan dengan persiapan  pemberian sirih (afo) yang dibawakan oleh perempuan-perempuan dengan tarian mogaele.
  3. Foalő kemudian diikuti dengan Faluaya Zanőkhő, sebuah tarian dalam pola ritmis 3 langkah yang diiringi dengan hoho Faluaya Zanőkhő dengan pola ritmis 10.
  4. Selanjutnya adalah Faluaya Si’őligő, sebuah tarian melingkar sambil pegangan tangan. Dalam tarian inilah, tarian mogaele yang dibawakan oleh sejumlah perempuan mengambil peranan, melalui  lingkaran Faluaya Si’őligő membawa sirih sambil dikawal oleh anggota si fatele.
  5. Peperangan (Fanufő).  Dalam bagian ini group atele dibagi dua: yaitu pihak desa/banua yang diserang (sobanua) dan pihak musuh (nemali). Adegan dimulai dengan mana’a atau ronda yang dilakukan oleh seorang dari sobanua, dan menemukan bahwa ada musuh yang menyerang desa mereka.  Kemudian terjadi peperangan dengan kekalahan pihak emali (musuh yang menyerang desa).  Kekalahan musuh ini ditandai dengan teriakan “Alokha khő nemali” (celakalah musuh yang menyerang desa kita). 
  6. Kemudian dilantunkan AE HOHOI, yang mengisyaratkan ajakan untuk melaporkan kemenangan itu kepada Si’ulu desa tersebut (si’ulu adalah kaum bangsawan tradisionil pemimpin desa).  Dan dilanjutkan dengan menyanyikan “hemitae”, yang berarti mari kita beritahu kemenangan kita atas musuh yang ingin menghancurkan desa kita.
  7. Setelah itu, dilanjutkan dengan Fadőli Hia, sebuah tarian yang diiringi dengan hoho Fadőli Hia yang diawali dengan syair “datalau maluaya, he” sebuah ajakan untuk menari di halaman desa.
  8. Adegan ini kemudian dilanjutkan dengan  “orahua”, yaitu rapat desa yang membicarakan kemenangan desa tersebut atas kekuatan perusak dari nemali. Yang melibatkan para pimpinan adat desa yaitu para si’ulu dan si’ila.  Selanjutnya diperagakan fatele dan famanu-manu.  Tarian Fatele adalah tarian tunggal  yang dimulai dengan melompat di tempat sambil memegang tombak dan perisai. Ketika melompat, pertama-tama perisai di hentakkan di lutut dan ketika di udara ujung kaki menyepak perisai. Secara tradisionil, lompatan ini harus dilakukan dalam jumlah ganjil (satu, tiga, lima kali dst). Tidak boleh dalam jumlah genap.  Lompatan yang baik adalah jika si fatele tidak bergeser dari tempatnya setelah beberapa kali melompat.  Selanjutnya di peragakan bagaimana mempergunakan tombak dan pedang secara berurutan.  Adegan ini kemudian diakhiri dengan famanumanu, yaitu tarian yang memperlihatkan bagaimana pahlawan dari banua tersebut mengalahkan musuh dalam sebuah duel (pertarungan satu lawan satu).  Esensi dari bagian ini adalah melaporkan bagaimana pahlawan desa tersebut mengalahkan musuh yang menyerang mereka.

Fatele! Tarian teatrikal  ini dibuka dan ditutup dengan fanoho'o. Sebuah teriakan dari seorang pemain yang menyerukan untuk bersatu, dan dijawab oleh semua pemain dengan teriakan melengking.  Inilah Fatele, Tari perang yang tidak haus perang, tidak ingin menjajah dan tidak ingin dijajah. Fatele, adalah  tarian untuk survive, mungkin inilah yang mnyebabkan ada banyak desa besar di Teluk Dalam, Nias Selatan. 
Taaaaaarihumőhő banuaaa Hiliiiiisimaetanő... Hu!! Ba hizale!! Demikianlah teriakan survival tersebut melengking-lengking di udara.


Minggu, 05 April 2015

How to write notation for classical guitar?



How to write notation for classical guitar?
It is very simple way.  At first, you need to sign up noteflight.com and download musescore (free software.  Then follow these steps

I.  Using noteflight.com
1.  Write your music in noteflight (choose new score)
2.  to write the melody/chords and the bas: press U for upper notes, and L for lower notes
3.  click File in notefligh and Export the musical score to MusicXML

II.  Using Musescore
4.  Use musescore to open your MusicXML file.  Now you can add the fingering in your music score:
a.  in the musescore: click create => text => fingering. 
b.  select note in the score, then double click fingering menu.

Example