Rabu, 18 Januari 2017

Menanggapi Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT



Menanggapi Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT
Oleh: Calvin Dachi



Pendahuluan
Pada tanggal 17 Juni 2016 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengeluarkan pernyataan pastoral yang menghebohkan tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender).  Istilah “pernyataan pastoral” itu sendiri secara implisit memperlihatkan bahwa PGI menilai adanya sikap yang salah dari gereja-gereja terhadap mereka yang disebut LGBT.  Karena itu, walaupun surat pernyataan pastoral ini tidak bersifat mengikat, namun sebuah sistem teologis dan sistem nilai tertentu mencuat dari pernyataan PGI tersebut, dan  sepantasnya kalangan pendeta dan ahli-ahli teologi untuk menanggapi surat pernyataan tersebut. 
            Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut, penulis perlu menggarisbawahi bahwa tulisan ini bukan dibuat berdasarkan pertimbangan medis atau dari sudut pandang kedokteran (penulis tidak punya kapasitas medis), melainkan dibuat berdasarkan pertimbangan teologis dan tentu saja dari sudut pandang teologis dan biblical.  Karena itu diskusi di dalam tulisan ini tidak membahas fenomena tentang variasi pandangan medis tentang fenomena LGBT ini. 

Bagian Pengantar:  Strategi Mengaburkan Makna Teologis
            Kalau kita membaca “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT”  maka kita perlu menyadari bahwa ada banyak sekali pernyataan yang tidak jelas dan ambigu yang dibuat oleh PGI.  Mis.:   Pernyataan dalam pengantar “Manusia adalah gambar dan citra Allah yang sempurna”  menimbulkan pertanyaan apakah kata “sempurna mengacu kepada Allah atau kepada gambar/citra”.  Kalau yang dimaksud PGI:  manusia adalah gambar dan citra yang sempurna dari Allah, maka gambar atau citra itu tidak mungkin cacat atau rusak.  Itulah sebabnya dalam pengantar ini tidak disinggung sama sekali tentang kejatuhan manusia dalam dosa serta akibatnya terhadap gambar dan citra tersebut. 
            Selanjutnya dalam pengantar point 2 PGI mengatakan:  “Allah menciptakan manusia, makhluk dan segala ciptaan yang beranekaragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, gender, orientasi seksual dan agama.”  Disini PGI sengaja membuat strategi wacana yang menempatkan “orientasi seksual” sebagai bagian dari keanekaragaman.  Supaya lebih jelas penulis memperlihatkan bagaimana PGI diam-diam sudah menyatakan LGBT itu diciptakan oleh Tuhan dengan mengatakan “Allah menciptakan manusia  … yang beranekaragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman …  orientasi seksual …”  Walaupun dalam point 2, klaim PGI bahwa LGBT diciptakan oleh Tuhan dinyatakan dengan tidak jelas dan eksplisit, namun konteks keseluruhan memperlihatkan bahwa yang dimaksud dengan orientasi seksual adalah termasuk didalamnya LGBT.
            Setelah menggiring pembaca untuk tanpa sadar mengakui LGBT sebagai karya cipta Tuhan, kemudian PGI mengatakan dalam poin 3 agar kita saling menerima, saling menghormati, menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam (tentu termasuk menjaga dan memelihara LGBT). 
 
“Bersikap positif dan realistis dalam keanekaragaman berarti kita harus saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain… Bersikap positif dan realistis berarti kita menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar mendatangkan kebaikan bagi umat manusia, bagi segala makhluk dan bagi bumi ini.” 

Uraian di atas memperlihatkan bahwa di bagian pengantar PGI sudah menginfiltrasi pembaca untuk mengakui dan menerima fenomena LGBT sebagai bagian keanekaragaman yang diciptakan oleh Tuhan dan dengan demikian kita bertanggung jawab untuk memlihara persekutuan dengan mereka.

Titik Tolak PGI:  Pernyataan Yang Tidak Lengkap
            Salah satu kesulitan dalam menanggapi “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT”  adalah pernyataan-pernyataan yang tidak jelas dan kabur.  Sebagai contoh adalah Titik Tolak no 6

Ketika kita menghadapi persoalan moral, salah satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci. Penafsiran terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis. (bold oleh penulis)

Dalam Titik Tolaknya, PGI bicara masalah “penafsiran tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan teks”.  Dan sekalipun PGI mengangkat ini, namun dalam pernyataan-pernyataan berikutnya, PGI sama sekali tidak memaparkan secara eksplisit apa sebenarnya “maksud dan tujuan” penulis Kejadian, Ulangan, Hakim-hakim, Roma dan sebagainya.  Dengan demikian, kita juga tidak tahu bagaimana PGI mempertimbangkan “maksud dan tujuan penulis Kitab Suci”  dalam menafsirkan nats-nats yang mereka kutip.   Tentu saja ini disengaja supaya kelemahan penafsiran PGI tidak bisa dikritisi karena tidak jelas “maksud dan tujuan” seperti apa yang dimaksudkan oleh PGI dalam tafsirannya.
            Sehubungan dengan ini, penulis berpendapat bahwa kita perlu mengeksplisitkan “maksud dan tujuan” tersebut dengan berbagai cara:
1.      1.   Maksud dan tujuan kanonisasi Kitab Suci sebagai ukuran dan standard iman orang percaya.
2.  2.  Pernyataan Alkitab tentang dirinya sendiri.  Mis.: Dalam Ulangan 4:40 mengatakan supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya.  Atau menurut  Paulus  Perjanjian Lama sebagai penuntun Gal 3:24, kitab suci bermanfaat untuk mendidik (2 Tim 3:16) dan sebagainya.
3.   3.  Bahkan sudah disepakati oleh banyak ahli bahwa Kejadian 1-11 memperlihatkan bagaimana keadaan manusia yang semakin lam semakin buruk setelah jatuh dalam dosa dan Kej 12 – 50 berbicara bagaimana Allah melaksanakan karya penyelamatanNya dengan memilih Abram.

Masalah yang kita temukan dalam pernyataan pastoral PGI adalah tidak adanya rumusan eksplisit tentang maksud dan tujuan penulisan Kitab Suci menurut PGI.  Menurut saya, inilah salah satu strategi yang dibuat PGI untuk menangkis kritikan-kritikan dan penolakan atas pernyataan mereka.  Ilmu berkelit yang kurang mendidik.  Sehingga PGI kemudian berani berkata

Berkenaan dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tetapi Alkitab tidak memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka. Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’.

            Penulis sengaja memberikan tekanan pada pernyataan “Alkitab tidak memberikan penilaian moral-etik”.  Pertanyaannya: benarkah demikian?  Apa PGI tidak tahu bahwa DOGMATIKA dan ETIKA pada awalnya adalah bidang teologi yang satu. Setelah dipisah, sekarang Dogma dan Etika berada di bawah payung bidang Teologi Sistematika. Jika dogma bicara tentang dasar-dasar iman Kristen, maka Etika mengatur bagaimana seharusnya berperilaku sesuai dengan doktrin iman yang dipegangnya.  Lalu berdasarkan apa dogma dan etika disusun kalau bukan berdasarkan Alkitab? 


Konsep PGI tentang Dosa
            Sekali lagi penulis ungkapkan bahwa PGI tidak menjelaskan apapun tentang dosa.  Namun dari pernyataan PGI kita bisa melihat bagaimana PGI memahami dosa.  Untuk itu penulis kutip apa yang dikatakan PGI dalm Titik Tolak poin 6. 

Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’.

            Ini adalah argument PGI yang secara halus akan dikembangkan dengan pernyataan Medis tentang LGBT dalam rekomendasi 8, sebagai berikut:

Pernyataan dari badan kesehatan dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah penyakit spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial. Sulit membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given). Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.

Penulis sengaja memperlihatkan hubungan poin 6 dengan poin 8 ini karena dasar PGI mengatakan itu adalah dengan membedakan antara orientasi seksual dan perilaku seksual.  Para pendukung PGI akan selalu berlindung dibalik pembedaan ini dengan berkata “yang kami katakan bahwa orientasi seksual LGBT tidak dosa.  Orientasi seksual itu bukan perilaku seksual”.  Tentu saja itu beda!  Biasanya mereka menolak berkomentar jika kita tanya apakah pernikahan sesame jenis itu dosa atau tidak?  Pendukung LGBT kemudian berkelit kepada HAM (Hak Azasi Manusia).  Dengan demikian, menurut PGI dosa barulah disebut dosa jika diwujudkan dalam perilaku.  Pikiran dan keinginan yang jahat itu bukan dosa karena belum dilakukan.  Setelah dilakukan barulah itu dosa.  Benarkah konsep PGI tentang dosa ini?

Pertanyaan dasar adalah “apa itu dosa”?  Dalam Alkitab ada berbagai cara untuk menyebut dosa. Sebuah kata yang penting adalah khata (kel 20:20; Ams 8:36) yang berarti kehilangan atau salah sasaran.  Dalam bahasa Yunani yang mirip dengan itu disebut hamartaon (kata benda: hamartia).artinya gagal mencapai sasaran.  Jika dosa disebut dengan istilah tersebut, maka yang dimaksud adalah bahwa manusia kehilangan tujuannya atau tidak mencapai tujuannya, sebab ia tidak memperhatikan peraturan yang diadakan oleh Tuhan Allah.  Istilah yang paling berat yang menunjukkan sifat dosa adalah pasha:“memberontak”, yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (Hos 8:1).  Jadi disini hakekat dosa dilihat sebagai pemberontakan yang dengan sadar terhadap Raja segala Raja, yang disebabkan ketinggian hati.

Jika kita bertanya: apa maksud Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan?  Atau siapa akhirnya yang menjadi “penolong yang sepadan” bagi Adam?  Secara teologis jelas bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk rencana Allah yang jelas diungkapkan dalam Kej 1: 28 “"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."  Laki-laki dan perempuan itu disebut satu, utuh dan penuh.  Dan dalam Matius 19:4 Yesus berkata: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan kemudian dalam Matius 19 : 5-6 Yesus berkata “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”  Artinya: Bersatunya laki-laki dan perempuan adalah ketetapan Allah sejak semula dan Dan Allah menghendaki Allah agar kesatuan itu tidak diganggu gugat!  “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”  (Mat 19:6)  Walaupun ini tentang perceraian, tetapi substansinya jelas:  yang dikehendaki Allah adalah kesatuan laki-laki dan perempuan yang tidak boleh dipisahkan oleh apa pun juga.  Jika LGBT menghalangi bersatunya laki-laki dan perempuan, maka itu tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh Allah.  Dan itu adalah khatta atau hamartia alias DOSA.

            Mungkin PGI dan pendukungnya akan berkata:  Tapi orientasi seksual tidak sama dengan perilaku seksual.  Dan untuk itu penulis menjawab, sejak orientasinya LGBT maka tujuan dan kehendak Allah dalam dirinya sudah ditolaknya di dalam hatinya.  Artinya: orang tersebut sudah tidak hidup menurut arah yang ditentukan Allah. 
Selain itu, dalam Alkitab dosa bukan dimulai dari perbuatan, melainkan sudah dimulai dari keinginan.  Bahkan dalam PB Tuhan Yesus berkata: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”   (Mat 5:28)  dan lebih lanjut Yesus berkata: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,  sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat…” (Mat 7:20-23).  Dengan demikian pemisahan antara orientasi seksual dan perilaku seksual sudah tidak sahih lagi secara teologis.


Penutup
            Ada banyak lagi yang bisa dikupas tuntas dari “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT”, misalnya: bagaimana penafsiran ayat-ayat yang dicantumkan oleh PGI, apakah temuan ilmu pengetahuan  bisa dijadikan dasar menetapkan bahwa perilaku tertentu adalah dosa atau bukan?  Tetapi penulis menyadari, untuk membahas hal itu diperlukan studi yang lebih komprehensif lagi.