Oleh: Calvin Dachi, MAIE, MTh
1.
Pendahuluan
Keberadaan
Alkitab di dunia modern sudah sering dibicarakan oleh para ahli. Pada awalnya, pembicaraan berkaitan dengan
ini berada di bawah payung hubungan agama dan sains dengan menggunakan “model
perang”.[1] Berdasarkan Roma 1:20 Peter M.J Hess mengutip
kesimpulan yang mengatakan “Maka ada dua kitab yang diberikan Allah kepada
kita, yang satu adalah kitab seluruh kumpulan makhluk atau kitab alam dan yang
satu adalah kitab suci.” Namun jelas
orang Kristen cenderung tidak mengindahkan kitab alam ini. Sekalipun secara teologis sudah diterima
teologi tentang penyataan umum dan penyataan khusus, namun
konsekwensi-konsekwensinya dalam memahami dunia modern kurang diberi perhatian
khusus. Tulisan ini akan membahas
tentang pentingnya Alkitab di abad
modernism dan post modernism.
2. Modernisme
Walaupun
kebudayaan modern muncul pada abad ke 18 di Eropa Barat namun asal usulnya
dapat ditelusuri jauh ke belakang pada jaman renaissanceabad ke -15 dan
ke-16. De ngan demikian, untuk mendapat
pemahaman yang memadai tentang modernism haruslah disertai dengan pemahaman
akan gerakan renaissance.
Kata Renaissance berarti: kelahiran
kembali. Kelahiran kembali yang dimaksud
disini adalah kelahiran kembali dalam peradaban dengan cara kembali kepada
sumber-sumber yang murni dari pengetahuan dan keindahan.[2] Di dalam Renaissance, dunia diterima
seperti apa adanya. Orang merasa kerasan
(at home) di dunia dan menghargai sekali hal-hal yang baik dari hidup ini. Orang menjadi optimis dan optimism ini
diperkuat dengan berbagai penemuan di bidang ilmu dan penemuan benua baru, yang
mengakitbatkan timbulnya pikiran-pikiran baru
di segala bidang hidup.
Sebelumnya, pada abad pertengahan perhatian orang umumnya hanya kepada
hal-hal yang abstrak dan pengertian-pengertian dan mengabaikan hal-hal yang
konkrit dan yang tampak. Sebaliknya pada
masa Renaissance, perhatian orang berubah dan lebih kepada hal yang konkrit seperti
kepada alam, manusia, hidup kemasyarakatan dan kepada sejarah. Jadi Renaissance menggiring manusia kepada
dua hal: menemukan dunia dan dirinya sendiri.
Setidaknya ada tiga penemuan dalam
zaman Renassance yang mendorong lahirnya masyarakat modern, yaitu: penemuan
mesiu, mesin cetak dan kompas. [3] Penemuan mesiu menyebabkan hancurnya dasar
kekuatan militer yang berdasarkan keksatriaan.
Dampak sosialnya sangatlah besar.
Gereja dan pemerintah yang pada masa itu memegang pedang, yang
kewibawaannya nyaris tak terbantahkan dan tidak boleh dipertanyakan, sekarang
kehilangan kekuatan istimewanya. Seorang
petani yang tidak terpelajar, apabila dilengkapi dengan senjata bedil akan
dapat menembak mati seorang ksatria yang berbaju besi.[4] Akibatnya, kekuasaan feodal yang dipusatkan
dalam benteng-benteng sudah tidak bernilai lagi karena dapat dihancurkan dengan
mudah oleh meriam. Sedangkan penemuan
mesin cetak menyebakan pengetahuan tidak lagi menjadi milik eksklusif dari
suatu kelompok kecil elite intelektual.
Mesin cetak membuat biaya produksi sebuah buku menjadi jauh lebih murah
sehingga dapat dijangkau oleh banyak orang.
Informasi dapat disebarkan luaskan dengan pesat ke semua pelosok. Penemuan Kompas berarti bahwa navigasi mulai
aman, sehinga dimungkinkan perjalanan-perjalanan jauh, yang memperluas wawasan
manusia di eropa Barat pada saat itu.
Menurut Franz Magnis-Suseno, ketiga
penemuan di atas ada hubungannya dengan tiga gerakan yang mengubah Eropa Barat
pada masa itu. Ketiga gerakan itu, satu
dalam bidang ekonomi dan social dan dua dalam cara berpikir manusia,
yaitu: 1. Kapitalisme dengan teknik modern yang
memungkinkan industrialisasi, 2.
Penemuan subjektivitas manusia modern, 3. Rasionalisme.
Kapitalisme dan industrialisasi
mengubah tujuan produksi dan konsumsi manusia.
Sebelumnya produksi ekonomi pada hakekatnya dijalankan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, entah secara langsung
entah melalui perdagangan. Tidask masuk akal untuk berproduksi melebihi
kebutuhan maksimal. Tapi dalam kapitalisme,
tujuan produksi adalah modal yang dapat diakumulasikan tanpa batas. Makin kuat modal maka akan semakin kuat juga
proses ekonominya. Jadi tujuan produksi
bukan lagi memenuhi kebutuhan melainkan untuk menambah modal.
Berkaitan dengan subjektifitas
modern, sumbangan renaissance adalah
pada keberhasilannya menempatkan manusia ke dalam pusat dunia. Jika dalam filsafat Yunani cara pandang bersifat kosmosentris dan
pada Abad Pertengahan cara pandang lebih bersifat teosentris, maka Renaissance
melahirkan humanism dengan manusia universal sebagai cita-citanya.
Sedangkan Rasionalisme memunculkan
tuntutan agar semua klaim dan wewenang dipertanggungjawabkan secara
argumentative. Tokoh yang memberikan
dasar atas rasionalisme adalah Rene Descartes.
Metode keragu-raguan Descartes menyebabkan dia sampai kepada
kesimpulannya yabg terkenal cogito ergo
sum (Aku berpikir maka aku ada).
Kesimpulan filosofisnya ini merupakan pegangan pola piker modern yang
percaya bahwa kebenaran dapat ditemukan oleh akal budi manusia.
Ada beberapa
ciri rasionalisme, yaitu:
a.
Kepercayaan
pada kekuatan akal budi manusia. Segala
pernyataan dan klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
ditolak. Yang dimaksud dengan yang tidak
rasional itu adalah tradisi, wewenanng tradisional otoritas dan dogma.
b.
Penolakan
terhadap tradisi, dogma dan otoritas.
c.
Rasionalisme
mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan.
d.
Sekularisasi,
yaitu suatu pandangnan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan
antara Tuhan dan dunia dan menganggap dunia sebagai duniawi saja.[5]
Ciri-ciri
masyarakat modern
Uraian di atas
membawa penulis sampai pada tahap untuk merumuskan apa yang menjadi cirri-ciri
masyarakat modern. Ada beberapa cirri
yang bisa dideteksi disini, yaitu:
1.
Masyarakat modern adalah masyarakat yang
berdasarkan industrialisasi.
Industrialisasi ini menentukan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatan
dan way of lifenya. Melalui
industrialisasi manusia berhasil mengabdikan
energy-energi alam bagi kepentingannya
2.
Perubahan
gaya hidup manusia modern yang mencolok adalah penciptaan jalur komunikasi
local, regional dan global yang padat dan cepat, transportasi yang memungkinkan
manusia bergerak cepat di darat, laud an udara, mesin-mesin yang mempermudah
pekerjaan manusia, perkembangan di bidang kedokteran dan pertanian.
3.
Masyarakat
modern adalah masyarakat tidak mengalami lagi ketergantungan dari alam.
Akibatnya kesadaran akan batas eksistensi manusia seakan-akan hilang.
4.
Masyarakat
modern menghasilkan perubahan mendalam dalam cara berpikir manusia. Manusia yakin bahwa ia dapat menemukan
kebenaran dengan akal budinya.
Dunia Pasca modern:
Alkitab yang Semakin Penting
Saat ini, para ahli sepakat bahwa
kita sudah melewati era modernism, walaupun tidak terlepas sama sekali dari
modernism. Istilah yang lazim digunakan
adalah Postmodernisme.
Postmodernism adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan
modernisme-nya. Ini bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru
menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang
tunggal. Cita-cita modernism untuk yang
menganggap manusia dapat menemukan kebenaran yang absolut dengan akal budinya
itu ternyata harus menghadapi kenyataan lahirnya pluralisme dan keragaman. Cita-cita untuk terwujudnya manusia yang
mulia, membangun kemanusiaan yang lebih baik dan sebagainya ternyata berujung
pada kegagalan.
Optimisme
modern atas kemampuan manusia untuk menemukan
kebenaran ternyata membuat manusia kehilangan nilai-nilai mulia yang
diyakininya. Bukannya menemukan
kebenaran yang sejati, manusia justru terperangkap dalam belantara relativisme
nilai. Untuk pertama kalinya kebenaran
diragukan tanpa pernah menemukan kepastiannya kembali.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis melihat ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan Alkitab
semakin penting, yaitu:
1. Dari segi manfaatnya bagi kebaikan hidup
manusia, Alkitab telah membuktikan dirinya selama berabad-berabad dalam
memberikan arah bagi kehidupan manusia.
Humanisme yang menjadi pusat dari modernism terbukti telah gagal dalam
membangun kemanusiaan yang lebih baik.
Dalam modernism, manusia akhirnya diperalat hanya untuk kebutuhan
pengembangan industri. Cita-cita
modernism yang mengharapkan terwujudnya manusia mulia akhirnya kandas karena
manusia bukannya menjadi tuan, melainkan menjadi budak dari kepentingan
industri
2. Modernisme
yang percaya bahwa manusia dapat menemukan kebenaran melalui akal budinya
ternyata telah hancur. Manusia justru
mengalami dehumanisasi dan kehilangan orientasi hidupnya. Kebenaran dan nilai-nilai mulia itu tidak
pernah tercapai dan bahkan yang terjadi orang semakin meragukan adanya
kebenaran absolute. Kebenaran dalam
modernism kini hanya tinggal serpihan-serpihan saja. Sebaliknya, Alkitab dengan nilai-nilai
spiritual dan moralnya terbukti benar dengan mengingatkan orang percaya bahwa
manusia pada dasarnya telah jatuh dalam dosa, bersifat terbatas dan tidak mampu menemukan kebenaran
dari dirinya sendiri. Kebenaran dan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus
sebagaimana disaksikan oleh Alkitab.
3. Dari point 1 dan 2, terbuktilah bahwa semua
ramalan-ramalan modernism pada akhirnya tidak ada yang terwujud. Kesejahteraan
yang diidam-idamkan berubah menjadi penderitaan karena perang, sakit penyakit
dan kerusakan lingkungan. Bukan lagi
rahasia umum bahwa semakin banyak manusia modern yang akhirnya berusaha kembali
menemukan harapan-harapannya dalam agama-agama Timur akibat kekosongan yang
mereka alami dalam filosofi modern. Hal
ini sangat berbeda dengan Alkitab yang telah membuktikan bahwa nubuat-nubuat
dalam Alkitab tergenapi satu demi satu di dalam sejarah manusia. Manusia menemukan bahwa dirinya sangat
berharga dan sadar bahwa masa depannya ditentukan oleh Tuhan yang jauh lebih
besar dan berkuasa dari system-sistem yang ada dalam dunia ini. Melalui Alkitab, manusia semakin menghargai
dirinya dan sesamanya.
4. Berbagai
karya-karya dan filosofi modernism yang dianggap monumental dan abadi ternyata
satu demi satu terbukti tidak seampuh yang diharapkan orang. Para filsuf modernism seperti Herbert
Marcuse, Habermas mengkritik habis-habisan filosofi modernism dan membuktikan
bahwa modernism telah gagal. Kritikan
Karl Marx atas kapitalisme walaupun dianggap benar oleh sebagian orang, namun
ternyata gagal dalam memberikan solusi bagi dilemma modernism yang menguasai
manusia. Solusi Marxism justru menghasilkan problema baru dalam hidup
manusia. Akibatnya, dua system yang
merupakan anak kandung dari modernism:
kapitalisme dan sosialisme tidak dapat dipertahankan lagi karena justru
menolak menghargai kemanusiaan itu sendiri.
Objektivisme yang naïf ternyata menyebabkan banyak orang merasa
terputusnya hubungan-hubungan manusiawi sehingga merasa hidup dalam kehampaan. Sebaliknya, Alkitab, sempat diadili di bawah
pengadilan akal budi manusia, tetapi kemudian terbukti mampu memberikan jawaban
atas krisis yang dialami oleh manusia-manusia modern. Kebenaran Alkitab bukan runtuh, malah semakin
diteguhkan. Alkitab menjadi buku
terlaris di dunia saat manusia-manusia modern mulai meninggalkan karya-karya
pemikir modernism. Alkitab memberikan
pegangan yang teguh saat manusia mengalami disorientasi.
Daftar Pustaka
1.
Boehlke,
Robert R., Sejarah Perkembangan Pikiran
dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato sampai IG Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
2.
Duchrow,
Ulrich, Mengubah Kapitalisme Dunia:
Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1998.
3.
Hadiwijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yokyakarta: Kanisius, 1997.
4.
Hess,
Peter M. J., “Dua Kitab Allah: Penyataan Khusus dan Ilmu Alam di Dunia Barat
Kristen” dalam Ted Peters daan Gaymon Bennet, Menjembatani Sains dan Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
5.
Magnis-Suseno, Franz, Filsafat
sebagai Ilmu Kristis, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
6.
Marcuse,
Herbert, Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: Bentang, 2000.
7.
Pache,
Rene, The Inspiration and Authority as Scripture. Chicago: Moody Press,
1997.
8.
Thiessen,
Henry C., Teologi Sistematika. Malang: Gandum Mas, 2010.
[1]
Peter M. J. Hess, “Dua Kitab Allah: Penyataan Khusus dan Ilmu Alam di Dunia
Barat Kristen” dalam Ted Peters daan Gaymon Bennet, Menjembatani Sains dan Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm
176.
[2]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, Yokyakarta: Kanisius, 1997, hlm 11.
[3]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai
Ilmu Kristis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm 59
[4]
Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato sampai IG Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, hlm 265-266.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar