Oleh Calvin Dachi, MAIE, MTh
Kata
kontekstualisasi pertama sekali muncul dalam terbitan Theological Education
Fund (Dana Pendidikan Teologi, TEF) pada tahun 1972. Ini bukan berarti kontekstualisasi teologi
baru terjadi mulai tahun 1972, melainkan lebih tepat diartikan bahwa ini adalah
awal lahirnya kesadaran bahwa teologi pada dasarnya bersifat kontekstual. Hal
ini terbukti dengan pemberian mandat kepada TEF oleh Division of World Mission
and Evanggelism pada pertemuan pertama di Mexico City tahun 1963 untuk meningkatkan
jenis pendidikan teologi dunia ketiga yang akan menghasilkan suatu perjumpaan
yang sesungguhnya antar mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk
pemikiran dan kebudayaan sendiri dan dialog yang hidup antara jemaat dan
lingkungannya”. (TEF 1972, hl. 13) Dari
sinilah kemudian muncul istilah kontestualisasi.
Sebenarnya, kontekstualisasi teologi
sudah dilakukan oleh orang percaya sejak dulu kala, namun yang membedakannya
dengan jaman sekarang adalah bahwa hal ini sekarang dilakukan dengan kesadaran
penuh. Jika teologi dipahami sebagai refleksi iman yang sistematis, maka
refleksi iman itu selalu terungkap dalam rangka menjawab konteksnya dan
menggunakan ungkapan-ungkapan yang dipahami dan relevan konteks sebuah produk
refleksi teologis. Eka Darmaputra secara tegas menekankan:
“Teologi kontekstualisasi adalah “teologi” itu
sendiri. Artinya, teologi hanya dapat
disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Mengapa demikian? Oleh karena pada
hakekatnya, teologi tidak lain tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan
secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dan “konteks”, antara kerygma yang universal dengan kenyataan
hidup yang kontekstual. Secara lebih
sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan
penghayatan iman kristiani pda konteks, ruang, dan waktu yang tertentu.”
Untuk memahami ini hal ini, berikut
penulis berikan contoh dari teologi gereja purba. Salah satu produk teologis purba yang sangat
jelas menjawab konteksnya dan diungkapkan dalam ekspresi yang relevan dengan
konteksnya adalah doktrin Tritunggal. Jika
kita melihat konteks lahirnya teologi ini, maka beberapa hal perlu
digarisbawahi disini. Pertama, istilah
Tritunggal dicetuskan oleh Tertullianus di tengah-tengah masyarakat yang
religio-kulturalnya bercirikan polytheism dan didominasi oleh alam pikiran
filosofi Yunani. Dapat dibayangkan bahwa
ungkapan Trinitas tidak sulit untuk diterima oleh orang-orang percaya pada
zaman itu. Tetapi ketika monotheism
ekstrim berkembang, doktrin ini justru menjadi hambatan bagi penganut
monotheism ekstrim untuk menerima iman Kristen.
Kedua, penjelasan atau penjabaran
doktrin ini juga dirumuskan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak
asing dalam pemikiran filosofis Yunani, mis.:
Ousia dan hupotastis. Penulis
percaya banyak di antara pembaca yang bertanya-tanya: apa itu Ousia dan
hupostasti? Oleh karena itu, janganlah
heran jika doktrin ini sangat sulit dipahami oleh orang-orang yang hidup dalam
konteks yang berbeda dan tidak mengenal dengan baik pemikiran fiosofis Yunani
kuno.
Pengertian dan Prinsip Kontekstualisasi
Kontekstualisasi
dipahami sebagai “kemampuan untuk menanggapi Injil sesungguhnya di dalam kerangka
situasinya sendiri”. Dalam penerapannya,
dalam teologi ternyata muncul dua kutub:
Teologi liberal yang lebih dipengaruhi oleh konteks masa kini, dan
teologi yang lebih ortodoks yang kurang dipengaruhi.
a. Kontekstualisasi Rasuli
Kutub yang lebih ortodoks
diwakili oleh Nicholls (1975: hal 647) yang menerangkan kontekstualisasi
sebagai: “menerjemahkan Injil kerajaan Allah yang tidak berubah itu ke dalam
bentuk-bentuk yang bermakna bagi bangsa-bangsa dalam budaya dan keadaan mereka
masing-masing”. Sedangkan definisi
Peters (1977: hal 169) mirip dengan hal itu namun lebih sempit: “menemukan implikasi-ilmplikasi sah dari Injil dalam keadaan tertentu. Ini lebih dari sekedar penerapan, yang boleh
saja dibuat atau tidak dibuat. Menemukan
implikasi dituntut oleh penafasiran teks secara tepat.
Nicholls dan Peters mewakili kelompok yang menganjurkan
“kontekstualisasi rasuli”. Mereka ingin
menerangkan (menerjemahkan, menafsirkan, mengadaptasi, menerapkan) iman “yang
sekali untuk selama-lamanya dipercayakan kepada orang-orang kudus” (Yud 3)
kepda orang dari budaya-budaya lain, begitu rupa hingga melestarikan sebanyak
mungkin makna dan relevansi aslinya.
b. Kontekstualisasi profetik
Pendapat anggota-anggota TEF
tentang kontekstualisasi tidak sama dengan Nicholls dan Peters.
“Dengan kata kontekstualisasi
kami bermaksud …segala sesuatu yang tersirat dalam pempribumian (indigenisasi),
namun menambah kosep lebih dinamis yang terbuka terhadap perubahan dan juga
berorientasi ke masa depan.
Kita harus
menemukan apa yang membuat suatu konteks benar-benar mempunyai arti dalam
terang Missio Dei. Kita harus melihat dimana Allah bekerja dan
memanggil kita untuk ikut serta di dalamnya.
Ini adalah penelaahan misiologis tentang tanda-tanda zaman…Pengertian
demikian yang autentik membawa kepada kontekstualisasi… Dialektika antara
penelaahan ini dan kontekstualisasi adalah cara baru dalam berteologi, yang
tidak hanya terdiri dari kata-kata tetapi juga tindakan” (Coe 1976: hal 21-22).
Demikianlah, kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah
pempribumian, namun lebih dalam daripada itu kontekstualisasi berkaitan dengan
penilaian terhadap konteks dalam dunia
ketiga. Istilah pempribumian cenderung
dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya
tradisional, sedangkan istilah kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan
konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan
perjuangan manusia demi keadilan.
Yang ditekankan dari definisi ini adalah
“wawasan kenabian” dari si pelaku kontekstualisasi dan keadaan-keadaan budaya,
politik dan lain-lain yang dialaminya.
Kontekstualisasi berarti memasuki suatu budaya, mencari apa yang sedang
Allah lakukan dan katakan dalam konteks tersebut, dan berbicara dan
bekerja demi perubahan yang perlu. Inilah kontekstualisasi kenabian. Misi para nabi Perjanjian Lama dan misi
kenabian Kristus menjadi model bagi orang-rang yang peka terhadap masa kini.
Oleh karena
itu, kontekstualisasi selalu bersifat kenabian yang muncul dari suatu pertemuan
antara firman Allah dan dunianya dan bergerak maju menuju tujuan untuk mengubah
situasi melalui keberakaran dan komitmen pada suatu saat historis tertentu.
Kontekstualisasi selalu bersifat dinamis bukan statis, terbuka secara
terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan
terjadinya perubahan hingga membuka jalan bagi masa depan.
c. Prinsip Kontekstualisasi Teologi
Kontekstualisasi
yang otentik menantang konteks itu dengan kuasa Injil, tetapi juga mengundang
kita masing-masing pada ketaatan penuh kepada Kristus dalam konteks khas kita
masing-masing. Dengan demikian prinsip
kotentekstualisasi adalah: SETIA KEPADA
TEKS, RELEVAN KEPADA KONTEKS. Yang
dimaksud dengan teks adalah segala yang memberi otoritas dan otentisitas pada
berita Kristiani dan kehidupan kristiani.
Sedang yang dimaksud dengan konteks adalah situasi keseluruhan pada
tempat dan dalam waktu khas tertentu.
Model-model Pendekatan Kontekstualisasi
- Model
Akomodasi
Akomodasi adalah
sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam
sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris baik secara
teologi maupun secara ilmiah. Objek
akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyerluruh dari suatu bangsa baik dari
segi fisik, sosial maupun ideal.
Di sini,
dalam komunikasi Injil, terjadi proses penetrasi dan dalam penerapannya
terdapat pengambilalihan unsur budaya setempat untuk mengekspresikan dan
meningkatkan sambutan atas Injil. Dalam proses
ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani dimana Kristus menjadi penyempurna
dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan
demikian akan terdapat sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas
pandangan bahwa anugerah Allah tidak menghancurkan budaya manusia, tetapi
justru melengkapi dan menyempurnakannya.
Contoh
model akomodasi dalam Alkitab: Kis.
17:28
- Model Adaptasi
Perbedaan model akomodasi dengan adaptasi terletak pada
cara pendekatannya. Model asimilasi
tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi
menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal.
Contoh: Yohanes menggunakan ide logos
untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yoh 1) dan Paulus menggunakan
konsep rahasia (II Kor 3:18).
Tujuan
adaptasi ialah mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah setempat (indigenous term) sehingga menjadi
relevan dalam situasi budaya tersebut.
- Model Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara
negatif. Proses prossesio terjadi
melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai
sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul dari
dalamnya.
Proses prossesio beroperasi dalam tiga tahap:
3.1
Dalam sejarah
pengilhaman Alkitab dan misi Kristen
3.2
Allah menguasai
bangsa-bangsa
3.3
Pembangunan
masyarakat Kristen untuk tugas penguasaan seluruh bangsa dan budaya.
- Model Transformasi
Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula
Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan
manusia. Bila seseorang dibaharui Allah,
maka Inti kebudayaannya juga dibaharui (II Kor 5:17).
- Model Dialektik
Ini adalah interaksi dinamis antara teks dan
konteks. Konsep ini didukung oleh
perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu perubahan itu
terjadi secara dinamis. Dengan demikian
Gereja harus menggunakan peran kenabian untuk menganalisis, menginterpretasi,
dan menilai setiap keadaan.
Berbeda dengan model di atas
Schreiter dalam bukunya Rancang Bangun
Teologi Lokal mengusul tiga model pendekatan teologi kontekstual (yang
disebutnya teologi local), yaitu sbb.:
a. Model-Model penerjemahan
“Model” menunjukkan
bukan saja prosedur keterlibatan dalam refleksi teologis, tetapi juga sejumlah
minat atau prinsip khas yang membantu membimbing penggunaan prosedur.
Model penerjemahan
melihat tugas teologi local sebagai tugas yang membutuhkan prosedur dua
langkah. Langkah Pertama, orang sedapat mungkin membebaskan pesan Kristen
dari kandang budaya sebelumnya. Dalam
melakukan itu, data penyataan dimungkinkan berdiri bebas dan disiapkan untuk Langkah Kedua, yaitu: penerjemahan ke
dalam situasi baru.
Yang mencolok di antara semua model ini adalah metode
penerjemahan Alkitab yang “ekuivalen-dinamis”,
yang dengannya gambaran alkitabiah pertama-tama diterjemahkan ked alam
konsep-konsep, yang kemudian dicari ekuivalennya dalam bahasa setempat. Konsep-konsep ini kemudian di terjemahkan ke
dalam gambaran yang khas bagi budaya tersebut.
Misalnya, pada budaya-budaya yang tidak mengenal domba atau gembala,
dilakukan usaha untuk menemukan konsep-konsep
teologis yang disampaikan oleh gambaran domba itu, agar dapat menemukan
bagaimana konsep-konsep yang sama itu dapat disampaikan dalam budaya yang baru,
meskipun dengan gambaran yang berbeda.
Charles Kraft telah mengusulkan bahwa pendekatan ekuivalen dinamis ini
dapat diperluas melampaui penerjemahan Alkitab untuk menjadi suatu prosedur
teologis.
b. Model Adaptasi
Model ini menyadari
sejumlah kesulitan dan kelemahan jangka panjang dari model-model penerjemahan,
dan mengusahakan suatu perjumpaan yang lebih dasariah antara kekristenan dan
budaya. Ada tiga model adaptasi yang
cukup sering dipakai:
Model
yang Pertama, orang-orang asing yang bergaul dengan
para pemimpin local akan mencoba mengembangkan suatu filsafat atau gambaran
tentang pandangan dunia budaya. Gambara
yang berkembang ini sejajar baik dengan model-model filsafat atau dengan
gambaran-gambaran antropologi budaya yang dipergunakan dalam teologi-teologi
Barat sebagai dasar untuk mengembangkan suatu teologi.
Model
yang Kedua, yaitu dengan melatih para pemimpin
setempat untuk menggunakan kategori-kategori Barat dalam mengungkapkan
factor-faktor yang membentuk pandangan dunia masyarakat mereka. Pada sejumlah contoh, para pemimpin setempat
merasa bahwa hal ini telah menolong mereka untuk dapat memahami budayanya
secara lebih mendalam. Pada contoh
lain, para pemimpin setempat dilatih di pusat-pusat pendidikan Barat dan mereka
sendiri berusaha menciptakan model-model filsafat demikian, dengan mengambil
bahan-bahan budaya setempat.
Kekuatan pendekatan adaptasi ini cukup jelas karena jika
dianut oleh pemimpin setempat, maka pendekatan ini cepat dapat menolong
mencapai tujuan ganda yaitu: otentisitas di budaya setempat dan rasa hormat dan
penghargaan di kalangan gereja
Barat. Teologi yang muncul dari model
ini penuh dengan kategori, nama dan keprihatinan suatu budaya setempat, namun
kelihatan seperti teologi Barat dan relative mudah dipahami oleh orang-orang
Barat. Tetapi kelemahan model ini adalah
karena menggunakan model-model filsafat Barat, maka sering terjadi pemaksaan
data-data budaya setempat ke dalam kategori-kategori asing.
Model
yang ketiga, adalah adaptasi yang tidak
mengandalkan model-model filsafat dari Barat, atau konsep-konsep Reformasi
tentang gereja purba. Paus Paulus VI,
tahun 1969 dengan fasih dan tepat
mengajukan pendekatan adaptasi jenis ini:
Ungkapan
ini, yaitu bahasa dan cara mewujudkan Iman yang satu ini, mungkin beraneka
ragam; karena itu, caranya mungkin
orisinil, di, disesuaikan dengan lidah, gaya, kecerdiakn dan budaya dari orang
yang mengakui Iman yang satu ini. Dari
sudut pandangan ini, suatu pluralism tertentu bukan hanya sah, tetapi juga dikehendaki. Suatu adaptasi terhadap kehidupan Kristen di
lapangan kegiatan penggembalaan, ritual, pengajaran dan kerohanian bukan hanya
mungkin dilakukan, melainkan juga dikehendaki oleh Gereja. Pembaruan dari liturgy adalah contoh yang
hidup dari pendekatan ini
c. Model-model Kontekstual
Model-model kontekstual, seperti disiratkan oleh namanya,
lebih langsung berkonsentrasi pada konteks budaya tempat Kekristenan berakar
dan diungkapkan. Sementara model-model
adaptasi terus menekankan pada iman yang diterima, model-model kontekstual
mulai dengan refleksinya dengan konteks budaya.
Ada dua jenis model kontekstual yang dibicarakan disini. Keduanya berbeda dalam cara membaca dinamika
dan kebutuhan-kebutuhan dominan dari konteks sosialnya. Dalam segi dinamika, kedua model mengakui
bahwa hampir semua budaya dunia mengalami perubahan social terus menerus. Mendasarkan sebuah teologi local sepenuhnya
pada pola-pola agama tradisional yang ditemukan di pedesaan Afrika atau di
budaya-budaya Pasifik Selatan, misalnya, berarti mengabaikan sejumlah kenyataan
dasar: populasi dunia semakin lama semakin terpusat di perkotaan. Usia rata-rata kebanyakan populasi dunia
Ketiga adalah kurang dari dua puluh tahun.
Kedua factor ini—urbanisasi dan populasi usia muda—menunjukkan bahwa
banyak dari agama dan budaya tradisional itu yang dilupakan atau bahkan tidak
dipelajari. Budaya tidak hanya terkena
perubahan social yang cepat akibat teknologi dan urbanisasi, tetapi juga
dipengaruhi oleh penindasan, kemiskinan dan kelaparan. Kontekstualisasi mengarah kepada dua model,
yaitu:
Pertama,
Pendekatan yang berkaitan dengan jati diri budaya atau “pendekatan-pendekatan
etnografis”. Keprihatinan ini muncul
dalam tahap-tahap akhir kolonialisme atau dalam penegasan kembali suatu jati
diri dan martabat yang telah disangkal dari mereka. Misalnya: Negritude di Afrika Barat atau Black
Power dei Amerika Serikat adalah
contoh-contoh tentang kebutuhan untuk membangun kembali suatu jati diri yang
telah disangkal atau dianggap lebih rendah.
Kedua,
pendekatan
yang memusatkan perhatian pada penindasan dan penyakit-penyakit social,
kebutuhan perubahan social, disebut “pendekatan-pendekatan pembebasan”. Mengingat begitu banyak kebudayaan yang terkena perubahan social, atau yang melalui pola-pola penindasan politik,
ekonomi dan social, dihalangi dari perubahan yang perlu, tidaklah mengherankan
bahwa pendekatan-pendekatan pembebasan menjadi bentuk model kontekstual yang
paling umum di dunia sekarang ini.
Kepustakaan
1.
Hesselgrave,
David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi:
Makna, Metode, dan Model. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
2. Hesselgrave,
David G., Communicating Christ
Cross-Culturally; Mengkomunikasikan Kristus
secara Lintas Budaya, Malang: Literature Saat, 2005.
3.
Tomatala, Yakob. Teologi
Kontekstualisasi: Suatu Pengantar. Malang: Gandum Mas.
4.
Schreiter,
Robert J. Rancang bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
5.
Elwood, Douglas J. Teologi
Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992.
6.
Singgih,
Emanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia &
Kanisius, 2000.
7. Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan
Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar