Kamis, 21 Mei 2015

Kontekstualisasi Teologi: Barang Baru, Stok Lama

Oleh Calvin Dachi, MAIE, MTh


Kata kontekstualisasi pertama sekali muncul dalam terbitan Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi, TEF) pada tahun 1972.  Ini bukan berarti kontekstualisasi teologi baru terjadi mulai tahun 1972, melainkan lebih tepat diartikan bahwa ini adalah awal lahirnya kesadaran bahwa teologi pada dasarnya bersifat kontekstual.     Hal ini terbukti dengan pemberian mandat kepada TEF oleh Division of World Mission and Evanggelism pada pertemuan pertama di Mexico City tahun 1963 untuk meningkatkan jenis pendidikan teologi dunia ketiga yang akan menghasilkan suatu perjumpaan yang sesungguhnya antar mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk pemikiran dan kebudayaan sendiri dan dialog yang hidup antara jemaat dan lingkungannya”. (TEF 1972, hl. 13)  Dari sinilah kemudian muncul istilah kontestualisasi.
Sebenarnya, kontekstualisasi teologi sudah dilakukan oleh orang percaya sejak dulu kala, namun yang membedakannya dengan jaman sekarang adalah bahwa hal ini sekarang dilakukan dengan kesadaran penuh. Jika teologi dipahami sebagai refleksi iman yang sistematis, maka refleksi iman itu selalu terungkap dalam rangka menjawab konteksnya dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang dipahami dan relevan konteks sebuah produk refleksi teologis.  Eka Darmaputra secara tegas menekankan:
“Teologi kontekstualisasi adalah “teologi” itu sendiri.  Artinya, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual.  Mengapa demikian? Oleh karena pada hakekatnya, teologi tidak lain tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dan “konteks”, antara kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual.  Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pda konteks, ruang, dan waktu yang tertentu.”
Untuk memahami ini hal ini, berikut penulis berikan contoh dari teologi gereja purba.  Salah satu produk teologis purba yang sangat jelas menjawab konteksnya dan diungkapkan dalam ekspresi yang relevan dengan konteksnya adalah doktrin Tritunggal.  Jika kita melihat konteks lahirnya teologi ini, maka beberapa hal perlu digarisbawahi disini.  Pertama, istilah Tritunggal dicetuskan oleh Tertullianus di tengah-tengah masyarakat yang religio-kulturalnya bercirikan polytheism dan didominasi oleh alam pikiran filosofi Yunani.  Dapat dibayangkan bahwa ungkapan Trinitas tidak sulit untuk diterima oleh orang-orang percaya pada zaman itu.  Tetapi ketika monotheism ekstrim berkembang, doktrin ini justru menjadi hambatan bagi penganut monotheism ekstrim untuk menerima iman Kristen.   Kedua, penjelasan atau penjabaran doktrin ini juga dirumuskan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak asing dalam pemikiran filosofis Yunani, mis.:  Ousia dan hupotastis.  Penulis percaya banyak di antara pembaca yang bertanya-tanya: apa itu Ousia dan hupostasti?  Oleh karena itu, janganlah heran jika doktrin ini sangat sulit dipahami oleh orang-orang yang hidup dalam konteks yang berbeda dan tidak mengenal dengan baik pemikiran fiosofis Yunani kuno.

Pengertian dan Prinsip Kontekstualisasi
Kontekstualisasi dipahami sebagai “kemampuan untuk menanggapi Injil sesungguhnya di dalam kerangka situasinya sendiri”.  Dalam penerapannya, dalam teologi ternyata muncul dua kutub:  Teologi liberal yang lebih dipengaruhi oleh konteks masa kini, dan teologi yang lebih ortodoks yang kurang dipengaruhi.


a.  Kontekstualisasi Rasuli
Kutub yang lebih ortodoks diwakili oleh Nicholls (1975: hal 647) yang menerangkan kontekstualisasi sebagai: “menerjemahkan Injil kerajaan Allah yang tidak berubah itu ke dalam bentuk-bentuk yang bermakna bagi bangsa-bangsa dalam budaya dan keadaan mereka masing-masing”.  Sedangkan definisi Peters (1977: hal 169) mirip dengan hal itu namun lebih sempit:  “menemukan implikasi-ilmplikasi sah dari Injil dalam keadaan tertentu.  Ini lebih dari sekedar penerapan, yang boleh saja dibuat atau tidak dibuat.  Menemukan implikasi dituntut oleh penafasiran teks secara tepat.
            Nicholls dan Peters mewakili kelompok yang menganjurkan “kontekstualisasi rasuli”.  Mereka ingin menerangkan (menerjemahkan, menafsirkan, mengadaptasi, menerapkan) iman “yang sekali untuk selama-lamanya dipercayakan kepada orang-orang kudus” (Yud 3) kepda orang dari budaya-budaya lain, begitu rupa hingga melestarikan sebanyak mungkin makna dan relevansi aslinya.

b.  Kontekstualisasi profetik
Pendapat anggota-anggota TEF tentang kontekstualisasi tidak sama dengan Nicholls dan Peters.
“Dengan kata kontekstualisasi kami bermaksud …segala sesuatu yang tersirat dalam pempribumian (indigenisasi), namun menambah kosep lebih dinamis yang terbuka terhadap perubahan dan juga berorientasi ke masa depan.
            Kita harus menemukan apa yang membuat suatu konteks benar-benar mempunyai arti dalam terang Missio Dei.  Kita harus melihat dimana Allah bekerja dan memanggil kita untuk ikut serta di dalamnya.  Ini adalah penelaahan misiologis tentang tanda-tanda zaman…Pengertian demikian yang autentik membawa kepada kontekstualisasi… Dialektika antara penelaahan ini dan kontekstualisasi adalah cara baru dalam berteologi, yang tidak hanya terdiri dari kata-kata tetapi juga tindakan” (Coe 1976: hal 21-22).
            Demikianlah, kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah pempribumian, namun lebih dalam daripada itu kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian terhadap konteks  dalam dunia ketiga.  Istilah pempribumian cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional, sedangkan istilah kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan. 
Yang ditekankan dari definisi ini adalah “wawasan kenabian” dari si pelaku kontekstualisasi dan keadaan-keadaan budaya, politik dan lain-lain yang dialaminya.  Kontekstualisasi berarti memasuki suatu budaya, mencari apa yang sedang Allah lakukan dan katakan dalam konteks tersebut, dan berbicara dan bekerja  demi perubahan yang perlu.  Inilah kontekstualisasi kenabian.  Misi para nabi Perjanjian Lama dan misi kenabian Kristus menjadi model bagi orang-rang yang peka terhadap masa kini.
Oleh karena itu, kontekstualisasi selalu bersifat kenabian yang muncul dari suatu pertemuan antara firman Allah dan dunianya dan bergerak maju menuju tujuan untuk mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada suatu saat historis tertentu. Kontekstualisasi selalu bersifat dinamis bukan statis, terbuka secara terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan hingga membuka jalan bagi masa depan.


c.  Prinsip Kontekstualisasi Teologi
Kontekstualisasi yang otentik menantang konteks itu dengan kuasa Injil, tetapi juga mengundang kita masing-masing pada ketaatan penuh kepada Kristus dalam konteks khas kita masing-masing.  Dengan demikian prinsip kotentekstualisasi adalah: SETIA KEPADA TEKS, RELEVAN KEPADA KONTEKS.  Yang dimaksud dengan teks adalah segala yang memberi otoritas dan otentisitas pada berita Kristiani dan kehidupan kristiani.  Sedang yang dimaksud dengan konteks adalah situasi keseluruhan pada tempat dan dalam waktu khas tertentu.


Model-model Pendekatan Kontekstualisasi
  1. Model Akomodasi
Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris baik secara teologi maupun secara ilmiah.  Objek akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyerluruh dari suatu bangsa baik dari segi fisik, sosial maupun ideal.
            Di sini, dalam komunikasi Injil, terjadi proses penetrasi dan dalam penerapannya terdapat pengambilalihan unsur budaya setempat untuk mengekspresikan dan meningkatkan sambutan atas Injil.  Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani dimana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya.  Dengan demikian akan terdapat sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa anugerah Allah tidak menghancurkan budaya manusia, tetapi justru melengkapi dan menyempurnakannya.
            Contoh model akomodasi dalam Alkitab:  Kis. 17:28

  1. Model Adaptasi
Perbedaan model akomodasi dengan adaptasi terletak pada cara pendekatannya.  Model asimilasi tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal.  Contoh: Yohanes menggunakan ide logos untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yoh 1) dan Paulus menggunakan konsep rahasia (II Kor 3:18).
            Tujuan adaptasi ialah mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah setempat (indigenous term) sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.

  1. Model Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif.  Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi.  Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
Proses prossesio beroperasi dalam tiga tahap:
3.1    Dalam sejarah pengilhaman Alkitab dan misi Kristen
3.2    Allah menguasai bangsa-bangsa
3.3    Pembangunan masyarakat Kristen untuk tugas penguasaan seluruh bangsa dan budaya.

  1. Model Transformasi
Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia.  Bila seseorang dibaharui Allah, maka Inti kebudayaannya juga dibaharui (II Kor 5:17).

  1. Model Dialektik
Ini adalah interaksi dinamis antara teks dan konteks.  Konsep ini didukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan.  Untuk setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis.  Dengan demikian Gereja harus menggunakan peran kenabian untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap keadaan.

Berbeda dengan model di atas Schreiter  dalam bukunya Rancang Bangun Teologi Lokal mengusul tiga model pendekatan teologi kontekstual (yang disebutnya teologi local), yaitu sbb.:

a.  Model-Model penerjemahan
“Model” menunjukkan bukan saja prosedur keterlibatan dalam refleksi teologis, tetapi juga sejumlah minat atau prinsip khas yang membantu membimbing penggunaan prosedur.
Model penerjemahan melihat tugas teologi local sebagai tugas yang membutuhkan prosedur dua langkah.  Langkah Pertama, orang sedapat mungkin membebaskan pesan Kristen dari kandang budaya sebelumnya.  Dalam melakukan itu, data penyataan dimungkinkan berdiri bebas dan disiapkan untuk Langkah Kedua, yaitu: penerjemahan ke dalam situasi baru.
            Yang mencolok di antara semua model ini adalah metode penerjemahan Alkitab yang “ekuivalen-dinamis”,  yang dengannya gambaran alkitabiah pertama-tama diterjemahkan ked alam konsep-konsep, yang kemudian dicari ekuivalennya dalam bahasa setempat.  Konsep-konsep ini kemudian di terjemahkan ke dalam gambaran yang khas bagi budaya tersebut.  Misalnya, pada budaya-budaya yang tidak mengenal domba atau gembala, dilakukan usaha untuk menemukan konsep-konsep  teologis yang disampaikan oleh gambaran domba itu, agar dapat menemukan bagaimana konsep-konsep yang sama itu dapat disampaikan dalam budaya yang baru, meskipun dengan gambaran yang berbeda.  Charles Kraft telah mengusulkan bahwa pendekatan ekuivalen dinamis ini dapat diperluas melampaui penerjemahan Alkitab untuk menjadi suatu prosedur teologis.


b.  Model Adaptasi
Model ini menyadari sejumlah kesulitan dan kelemahan jangka panjang dari model-model penerjemahan, dan mengusahakan suatu perjumpaan yang lebih dasariah antara kekristenan dan budaya.   Ada tiga model adaptasi yang cukup sering dipakai:
Model yang Pertama, orang-orang asing yang bergaul dengan para pemimpin local akan mencoba mengembangkan suatu filsafat atau gambaran tentang pandangan dunia budaya.  Gambara yang berkembang ini sejajar baik dengan model-model filsafat atau dengan gambaran-gambaran antropologi budaya yang dipergunakan dalam teologi-teologi Barat sebagai dasar untuk mengembangkan suatu teologi.  
Model yang Kedua, yaitu dengan melatih para pemimpin setempat untuk menggunakan kategori-kategori Barat dalam mengungkapkan factor-faktor yang membentuk pandangan dunia masyarakat mereka.  Pada sejumlah contoh, para pemimpin setempat merasa bahwa hal ini telah menolong mereka untuk dapat memahami budayanya secara lebih mendalam.   Pada contoh lain, para pemimpin setempat dilatih di pusat-pusat pendidikan Barat dan mereka sendiri berusaha menciptakan model-model filsafat demikian, dengan mengambil bahan-bahan budaya setempat. 
            Kekuatan pendekatan adaptasi ini cukup jelas karena jika dianut oleh pemimpin setempat, maka pendekatan ini cepat dapat menolong mencapai tujuan ganda yaitu: otentisitas di budaya setempat dan rasa hormat dan penghargaan  di kalangan gereja Barat.  Teologi yang muncul dari model ini penuh dengan kategori, nama dan keprihatinan suatu budaya setempat, namun kelihatan seperti teologi Barat dan relative mudah dipahami oleh orang-orang Barat.  Tetapi kelemahan model ini adalah karena menggunakan model-model filsafat Barat, maka sering terjadi pemaksaan data-data budaya setempat ke dalam kategori-kategori asing. 
Model yang ketiga, adalah adaptasi yang tidak mengandalkan model-model filsafat dari Barat, atau konsep-konsep Reformasi tentang gereja purba.  Paus Paulus VI, tahun 1969  dengan fasih dan tepat mengajukan pendekatan adaptasi jenis ini:
Ungkapan ini, yaitu bahasa dan cara mewujudkan Iman yang satu ini, mungkin beraneka ragam;  karena itu, caranya mungkin orisinil, di, disesuaikan dengan lidah, gaya, kecerdiakn dan budaya dari orang yang mengakui Iman yang satu ini.  Dari sudut pandangan ini, suatu pluralism tertentu bukan hanya sah, tetapi juga dikehendaki.  Suatu adaptasi terhadap kehidupan Kristen di lapangan kegiatan penggembalaan, ritual, pengajaran dan kerohanian bukan hanya mungkin dilakukan, melainkan juga dikehendaki oleh Gereja.  Pembaruan dari liturgy adalah contoh yang hidup dari pendekatan ini

c.  Model-model Kontekstual
Model-model  kontekstual, seperti disiratkan oleh namanya, lebih langsung berkonsentrasi pada konteks budaya tempat Kekristenan berakar dan diungkapkan.  Sementara model-model adaptasi terus menekankan pada iman yang diterima, model-model kontekstual mulai dengan refleksinya dengan konteks budaya.  Ada dua jenis model kontekstual yang dibicarakan disini.  Keduanya berbeda dalam cara membaca dinamika dan kebutuhan-kebutuhan dominan dari konteks sosialnya.  Dalam segi dinamika, kedua model mengakui bahwa hampir semua budaya dunia mengalami perubahan social terus menerus.  Mendasarkan sebuah teologi local sepenuhnya pada pola-pola agama tradisional yang ditemukan di pedesaan Afrika atau di budaya-budaya Pasifik Selatan, misalnya, berarti mengabaikan sejumlah kenyataan dasar: populasi dunia semakin lama semakin terpusat di perkotaan.  Usia rata-rata kebanyakan populasi dunia Ketiga adalah kurang dari dua puluh tahun.  Kedua factor ini—urbanisasi dan populasi usia muda—menunjukkan bahwa banyak dari agama dan budaya tradisional itu yang dilupakan atau bahkan tidak dipelajari.  Budaya tidak hanya terkena perubahan social yang cepat akibat teknologi dan urbanisasi, tetapi juga dipengaruhi oleh penindasan, kemiskinan dan kelaparan.  Kontekstualisasi mengarah kepada dua model, yaitu:
Pertama, Pendekatan yang berkaitan dengan jati diri budaya atau “pendekatan-pendekatan etnografis”.  Keprihatinan ini muncul dalam tahap-tahap akhir kolonialisme atau dalam penegasan kembali suatu jati diri dan martabat yang telah disangkal dari mereka.   Misalnya: Negritude di Afrika Barat atau Black Power  dei Amerika Serikat adalah contoh-contoh tentang kebutuhan untuk membangun kembali suatu jati diri yang telah disangkal atau dianggap lebih rendah.   
Kedua, pendekatan yang memusatkan perhatian pada penindasan dan penyakit-penyakit social, kebutuhan perubahan social, disebut “pendekatan-pendekatan pembebasan”.  Mengingat begitu banyak kebudayaan yang terkena perubahan social, atau yang melalui pola-pola penindasan politik, ekonomi dan social, dihalangi dari perubahan yang perlu, tidaklah mengherankan bahwa pendekatan-pendekatan pembebasan menjadi bentuk model kontekstual yang paling umum di dunia sekarang ini.




Kepustakaan

1.              Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode, dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
2.     Hesselgrave, David G., Communicating Christ Cross-Culturally; Mengkomunikasikan Kristus  secara Lintas Budaya, Malang: Literature Saat, 2005.
3.              Tomatala, Yakob. Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar. Malang: Gandum Mas.
4.              Schreiter, Robert J. Rancang bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
5.              Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
6.              Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 2000.
7.      Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar