Karunia
Roh dan Rupa-Rupa Angin Pengajaran
Oleh:
Calvin Dachi
Kilas Balik
Sudah cukup lama
hal ini disingkapkan Tuhan kepada saya.
Mungkin sekitar tahun 1992-1993 saat saya masih disebut awam secara
teologi. Saat itu saya bergaul dengan
teman-teman dari kalangan Pentakosta di Medan.
Satu hal yang menarik saat itu adalah fenomena ini: umumnya mereka memutuskan menjadi pelayan
karena mendapat pengalaman rohani seperti kesembuhan, penglihatan atau
mujizat. Pengalaman rohani ini rupanya
memberi rasa percaya diri yang sangat tinggi sehingga mereka dengan gagah
berani bersaksi, berkhotbah dan bahkan mengajar. Tetapi terkadang saya merasa pengajaran
mereka tentang firman Tuhan agak aneh dan tak ada dasar alkitabnya. Saat itulah Tuhan menyingkapkan kepada saya 1
Korintus 12 tentang karunia-karunia roh.
Apa
yang saya pahami ini kemudian diingatkan Tuhan lagi ketika saya mulai melayani
Tuhan di salah satu gereja di Sumatera Utara pada tahun 2001-2002. Di salah satu suku saya melihat ada
orang-orang yang mempunyai karunia-karunia rohani seperti penglihatan, karunia
untuk menyembuhkan dan sebagainya.
Tetapi pemahaman mereka tentang Firman Tuhan sangat buruk tetapi mereka
ajarkan itu kepada orang. Umumnya mereka
adalah orang-orang yang kurang berpendidikan bahkan ada yang buta huruf. Tapi karena karunia rohani yang mereka
miliki, orang akhirnya percaya saja pada ajaran mereka. Hal ini sering
menimbukan ketegangan antara pendeta/gembala dengan orang-orang yang punya
karunia tersebut. Sekali lagi Tuhan ingatkan saya tentang 1 Kor
12.
Apa yang disingkapkan padaku tentang 1 Kor 12
Jika
kita membaca Alkitab, khususnya 1 Kor 12, Paulus membahas karunia-karunia
rohani dengan panjang lebar. Disini saya
akan mengutip 1Kor 12:10 “Kepada yang
seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia
memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan
karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan
karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia
memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu.”
Dalam ayat itu kita melihat bahwa
ada banyak karunia yang diberikan oleh Roh.
Ungkapan “Kepada yang seorang Roh memberikan … dan kepada yang lain Ia
memberikan …” menunjukkan bahwa karunia yang berbagai macam itu tidak diberikan
kepada satu orang saja. Seorang yang
bisa mengadakan mujizat, belum tentu bisa bernubuat. Walaupun tetap ada kemungkinan bahwa Roh
memberi lebih dari satu karunia kepada orang yang sama, tentu itu akan terlihat
dari outputnya. Artinya, dalam 1 Kor
12:10 seorang yang memiliki karunia
mengadakan mujizat, belum tentu bisa bernubuat. Hal ini semakin lebih jelas jika kita
membaca 1Kor 12:29-30 dimana Paulus berkata
“Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka
semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau
untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” Pernyataan
Paulus ini menegaskan bahwa tidak semua orang menjadi rasul, nabi atau pengajar
dan tidak semua bisa adakan mujizat atau menyembuhkan. Hal ini perlu digarisbawahi karena inilah
yang saya temukan ketika sekitar tahun 1992 bertemu dengan teman-teman
pentakosta. Firman Tuhan dalam 1 kor 12
mengingatkan saya bahwa seorang yang
bisa mengadakan mujizat atau kesembuhan belum tentu bisa mengajar atau
menggembalakan. Begitu juga sebaliknya,
seorang pengajar atau nabi atau gembala belum tentu punya karunia mengadakan
mujizat atau menyembuhkan dan sebagainya.
Tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa Tuhan mengaruniakan beberapa
karunia itu atau bahkan semua karunia itu kepada satu orang.
PERMASALAHAN
DALAM GEREJA
Ada
banyak orang yang terkesima dengan terjadinya mujizat dan kesembuhan ilahi di
dalam pelayanan atau ibadah. Mujizat dan
kesembuhan adalah daya tarik yang hebat untuk menarik orang-orang bergabung
dalam pelayanan seseorang. Bagi banyak
orang, mujizat dan kesembuhan adalah bukti bahwa Allah beserta dengan orang
tersebut dan dengan demikian mereka adalah hamba Tuhan yang sebenarnya. Sikap ini, tanpa disadari menempatkan
mujizat dan kesembuhan sebagai tolok ukur apakah seorang pendeta/gembala adalah
benar-benar hamba Tuhan atau tidak.
DISINILAH PERMASALAHANNYA DIMULAI DAN DISINI JUGA PERMASALAHANNYA
BERAKAR.
Ketika seorang yang tidak punya kapasitas dan karunia
untuk mengajar atau menggembalakan tetapi memiliki karunia menyembuhkan atau
mengadakan mujizat, dituntut untuk bisa
mengajar atau menggembalakan oleh orang-orang yang mengenal dia maka persoalan
pun muncul. Persoalan pertama, adalah
berkaitan dengan panggilan. Sangat mudah
bagi orang tersebut kemudian berkata: “Okelah, Tuhan mempercayakan orang-orang
ini kepadaku maka biar aku jadi gembala atau mengajar mereka.” Di kalangan Pentakosta, menjadi gembala
adalah sesuatu yang menggairahkan. Tapi
masalahnya, orang tersebut sekalipun punya karunia menyembuhkan atau mengadakan
mujizat tapi karena tidak pernah diperlengkapi dengan ketrampilan penggembalan
atau mengajar, akhirnya menyebabkan berbagai keanehan dalam khotbah maupun
pengajaran. Atau mungkin orang tersebut
sudah belajar teologi tapi dan tamat dengan kasih karunia sehingga punya
sedikit pengetahuan dan ketrampilan,
TETAPI karena bukan panggilannya untuk mengajar atau menggembalakan akhirnya
menjadi ngawur. Bukannya mengajar, malah
membodohi. Bukan menyembuhkan, tetapi
melukai jemaat yang ikut dengannya.
Persoalan
kedua, adalah sangat serius. Bergesernya
parameter dari Alkitab kepada mujizat, kesembuhan atau karunia-karunia rohani
lainnya menjadi alasan untuk membenarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan
Alkitab. Pengalaman-pengalaman “rohani” ini bisa menyebabkan ajaran Alkitab
dianggap tidak laku lagi. Menyuarakan
pesan Alkitab akan disebut “teori”. Ada
seorang gembala pernah berkata padaku:
“Tuhan katakan bahwa dalam pelayananku akan ada orang mati yang
dibangkitkan, tapi syaratnya saya akan … (dia gerakkan jarinya ke leher)”. Saya gak tahu apakah sudah ada orang mati
yang bangkit dalam pelayanannya, tapi yang saya tahu dia sudah meninggal
beberapa tahun lalu karena sakit. Dan
yang lebih berbahaya lagi, ajaran yang tidak sesuai dengan alkitab pun dianggap
benar karena “dia bisa sembuhkan orang sakit” merupakan bukti bahwa ajarannya
berasal dari Tuhan. Sebaliknya orang-orang
yang punya karunia mengajar atau menggembalakan akhirnya tidak laku walaupun
ajarannya benar dan menuntun orang kepada hidup karena tidak punya karunia
menyembuhkan orang.
Persoalan
ketiga, adalah munculnya rupa-rupa angin pengajaran. Penulis pernah mendengar ada gereja yang
ajarkan “tujuh elemen”, gembala/pemimpin
yang salah tidak boleh ditegur karena meraka adalah orang yang diurai Tuhan,
dan sebagainya. Beberapa waktu yang lalu
muncul fenomena meniup-niup terompet bahkan puluhan atau ratusan orang pergi ke
Yerusalem untuk tiup-tiup sangkakala.
Biaya yang sudah dikeluarkan pasti mencapai milyaran rupiah. Melaksanakan tugas meniup sangkakala
dianggap lebih penting dan rohani dari pada menunaikan Amanat Agung. Dan yang penulis sedang selidiki adalah ajaran
(berdasarkan pengalaman) tentang tumpang tangan dan orang tersebut jatuh atau
gemetar. Jika jatuh berarti dilawat
Tuhan dan jika tidak jatuh berarti tidak
dilawat oleh Tuhan. Penulis sedang
selidiki apakah ada dasar Alkitabnya atau tidak. Tapi untuk sementara, penulis menemukan
data-data Alkitabiah yang mencatatkan
berbagai peristiwa pengurapan yang dilakukan di PL dan pencurahan Roh Kudus di
PB sama sekali tidak disertai dengan fenomena jatuh seperti itu.
Penutup
Tulisan ini adalah sebuah
perenungan dan persiapan diri penulis untuk memenuhi panggilan pelayanan
penulis. Ada tanggung jawab rohani yang
harus penulis penuhi dan wujudkan dalam pelayanan konkret. Ini baru awalnya saja … edisi turun gunung.(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar