Selasa, 29 September 2015

Karunia Roh dan Rupa-rupa Angin Pengajaran

Karunia Roh dan Rupa-Rupa Angin Pengajaran

Oleh: Calvin Dachi



Kilas Balik
Sudah cukup lama hal ini disingkapkan Tuhan kepada saya.   Mungkin sekitar tahun 1992-1993 saat saya masih disebut awam secara teologi.  Saat itu saya bergaul dengan teman-teman dari kalangan Pentakosta di Medan.  Satu hal yang menarik saat itu adalah fenomena ini:  umumnya mereka memutuskan menjadi pelayan karena mendapat pengalaman rohani seperti kesembuhan, penglihatan atau mujizat.   Pengalaman rohani ini rupanya memberi rasa percaya diri yang sangat tinggi sehingga mereka dengan gagah berani bersaksi, berkhotbah dan bahkan mengajar.   Tetapi terkadang saya merasa pengajaran mereka tentang firman Tuhan agak aneh dan tak ada dasar alkitabnya.  Saat itulah Tuhan menyingkapkan kepada saya 1 Korintus 12 tentang karunia-karunia roh.  

Apa yang saya pahami ini kemudian diingatkan Tuhan lagi ketika saya mulai melayani Tuhan di salah satu gereja di Sumatera Utara pada tahun 2001-2002.  Di salah satu suku saya melihat ada orang-orang yang mempunyai karunia-karunia rohani seperti penglihatan, karunia untuk menyembuhkan dan sebagainya.  Tetapi pemahaman mereka tentang Firman Tuhan sangat buruk tetapi mereka ajarkan itu kepada orang.  Umumnya mereka adalah orang-orang yang kurang berpendidikan bahkan ada yang buta huruf.  Tapi karena karunia rohani yang mereka miliki, orang akhirnya percaya saja pada ajaran mereka. Hal ini sering menimbukan ketegangan antara pendeta/gembala dengan orang-orang yang punya karunia tersebut.   Sekali lagi Tuhan ingatkan saya tentang 1 Kor 12.


Apa yang disingkapkan padaku tentang 1 Kor 12

Jika kita membaca Alkitab, khususnya 1 Kor 12, Paulus membahas karunia-karunia rohani dengan panjang lebar.  Disini saya akan mengutip 1Kor 12:10  “Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu.”
            Dalam ayat itu kita melihat bahwa ada banyak karunia yang diberikan oleh Roh.  Ungkapan “Kepada yang seorang Roh memberikan … dan kepada yang lain Ia memberikan …” menunjukkan bahwa karunia yang berbagai macam itu tidak diberikan kepada satu orang saja.  Seorang yang bisa mengadakan mujizat, belum tentu bisa bernubuat.  Walaupun tetap ada kemungkinan bahwa Roh memberi lebih dari satu karunia kepada orang yang sama, tentu itu akan terlihat dari outputnya.  Artinya, dalam 1 Kor 12:10  seorang yang memiliki karunia mengadakan mujizat, belum tentu bisa bernubuat.   Hal ini semakin lebih jelas jika kita membaca 1Kor 12:29-30 dimana Paulus berkata  “Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” Pernyataan Paulus ini menegaskan bahwa tidak semua orang menjadi rasul, nabi atau pengajar dan tidak semua bisa adakan mujizat atau menyembuhkan.  Hal ini perlu digarisbawahi karena inilah yang saya temukan ketika sekitar tahun 1992 bertemu dengan teman-teman pentakosta.  Firman Tuhan dalam 1 kor 12 mengingatkan saya bahwa  seorang yang bisa mengadakan mujizat atau kesembuhan belum tentu bisa mengajar atau menggembalakan.  Begitu juga sebaliknya, seorang pengajar atau nabi atau gembala belum tentu punya karunia mengadakan mujizat atau menyembuhkan dan sebagainya.  Tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa Tuhan mengaruniakan beberapa karunia itu atau bahkan semua karunia itu kepada satu orang. 
           
PERMASALAHAN DALAM GEREJA
Ada banyak orang yang terkesima dengan terjadinya mujizat dan kesembuhan ilahi di dalam pelayanan atau ibadah.  Mujizat dan kesembuhan adalah daya tarik yang hebat untuk menarik orang-orang bergabung dalam pelayanan seseorang.  Bagi banyak orang, mujizat dan kesembuhan adalah bukti bahwa Allah beserta dengan orang tersebut dan dengan demikian mereka adalah hamba Tuhan yang sebenarnya.   Sikap ini, tanpa disadari menempatkan mujizat dan kesembuhan sebagai tolok ukur apakah seorang pendeta/gembala adalah benar-benar hamba Tuhan atau tidak.  DISINILAH PERMASALAHANNYA DIMULAI DAN DISINI JUGA PERMASALAHANNYA BERAKAR.
            Ketika seorang yang tidak punya kapasitas dan karunia untuk mengajar atau menggembalakan tetapi memiliki karunia menyembuhkan atau mengadakan mujizat,  dituntut untuk bisa mengajar atau menggembalakan oleh orang-orang yang mengenal dia maka persoalan pun muncul.  Persoalan pertama, adalah berkaitan dengan panggilan.  Sangat mudah bagi orang tersebut kemudian berkata: “Okelah, Tuhan mempercayakan orang-orang ini kepadaku maka biar aku jadi gembala atau mengajar mereka.”  Di kalangan Pentakosta, menjadi gembala adalah sesuatu yang menggairahkan.  Tapi masalahnya, orang tersebut sekalipun punya karunia menyembuhkan atau mengadakan mujizat tapi karena tidak pernah diperlengkapi dengan ketrampilan penggembalan atau mengajar, akhirnya menyebabkan berbagai keanehan dalam khotbah maupun pengajaran.  Atau mungkin orang tersebut sudah belajar teologi tapi dan tamat dengan kasih karunia sehingga punya sedikit pengetahuan dan ketrampilan,  TETAPI karena bukan panggilannya untuk mengajar atau menggembalakan akhirnya menjadi ngawur.  Bukannya mengajar, malah membodohi.  Bukan menyembuhkan, tetapi melukai jemaat yang ikut dengannya.
Persoalan kedua, adalah sangat serius.  Bergesernya parameter dari Alkitab kepada mujizat, kesembuhan atau karunia-karunia rohani lainnya menjadi alasan untuk membenarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.  Pengalaman-pengalaman  “rohani” ini bisa menyebabkan ajaran Alkitab dianggap tidak laku lagi.  Menyuarakan pesan Alkitab akan disebut “teori”.  Ada seorang gembala pernah berkata padaku:  “Tuhan katakan bahwa dalam pelayananku akan ada orang mati yang dibangkitkan, tapi syaratnya saya akan … (dia gerakkan jarinya ke leher)”.  Saya gak tahu apakah sudah ada orang mati yang bangkit dalam pelayanannya, tapi yang saya tahu dia sudah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit.  Dan yang lebih berbahaya lagi, ajaran yang tidak sesuai dengan alkitab pun dianggap benar karena “dia bisa sembuhkan orang sakit” merupakan bukti bahwa ajarannya berasal dari Tuhan.  Sebaliknya orang-orang yang punya karunia mengajar atau menggembalakan akhirnya tidak laku walaupun ajarannya benar dan menuntun orang kepada hidup karena tidak punya karunia menyembuhkan orang. 
Persoalan ketiga, adalah munculnya rupa-rupa angin pengajaran.  Penulis pernah mendengar ada gereja yang ajarkan “tujuh elemen”,  gembala/pemimpin yang salah tidak boleh ditegur karena meraka adalah orang yang diurai Tuhan, dan sebagainya.  Beberapa waktu yang lalu muncul fenomena meniup-niup terompet bahkan puluhan atau ratusan orang pergi ke Yerusalem untuk tiup-tiup sangkakala.  Biaya yang sudah dikeluarkan pasti mencapai milyaran rupiah.   Melaksanakan tugas meniup sangkakala dianggap lebih penting dan rohani dari pada menunaikan Amanat Agung.  Dan yang penulis sedang selidiki adalah ajaran (berdasarkan pengalaman) tentang tumpang tangan dan orang tersebut jatuh atau gemetar.  Jika jatuh berarti dilawat Tuhan dan jika tidak jatuh berarti  tidak dilawat oleh Tuhan.  Penulis sedang selidiki apakah ada dasar Alkitabnya atau tidak.  Tapi untuk sementara, penulis menemukan data-data Alkitabiah yang  mencatatkan berbagai peristiwa pengurapan yang dilakukan di PL dan pencurahan Roh Kudus di PB sama sekali tidak disertai dengan fenomena jatuh seperti itu. 

Penutup

Tulisan ini adalah sebuah perenungan dan persiapan diri penulis untuk memenuhi panggilan pelayanan penulis.  Ada tanggung jawab rohani yang harus penulis penuhi dan wujudkan dalam pelayanan konkret.  Ini baru awalnya saja … edisi turun gunung.(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar