Ole:h Calvin Dachi, MAIE, MTh
Fatele adalah salah satu seni pertunjukan Tari Perang dalam budaya Nias
Selatan. Istilah ini diambil dari seni memperagakan keahlian berperang yang
dilakukan secara solo/tunggal, untuk memperlihatkan keahlian seseorang
menggunakan baluse (perisai), toho (tombak) dan gari/tolőgu (pedang). Di masa lampau, keahlian tersebut sangat penting karena orang Nias
sering mengalami bahwa banua (desa) tempat tinggal mereka diserang oleh nemali
(musuh). Peristiwa perang (Nias: fanufo) tersebut secara kultural
direkam dalam sebuah reportoar yang sering disebut fatele, menjadi sebuah seni
pertunjukan yang bersifat teatrikal. Di dalam seni pertunjukan ini diceritakan
bagaimana sebuah banua berjuang mengalahkan musuh yang menyerang mereka. Sebuah
perjuangan yang diceritakan dengan musik vokal hoho beserta sastra
lisannya, tarian faluaya, dan seni beladiri yang menyatu di
dalamnya. Namun, fatele bukan hanya cerita perjuangan banua menghadapi kekuatan
perusak yang menyerangnya, fatele juga menampilkan sebuah perayaan karena
banua tersebut berhasil berjuang untuk tetap eksis dan meneruskan kehidupannya.
Dalam konteks yang tradisional, Fatele biasanya ditampilkan di
halaman desa tradisionil (newali banua).
Newali banua adalah sebuah halaman desa yang dilapisi dengan batu-batu
persegi empat. Di bagian kiri-kanannya
berjejer dengan rapi dan indah puluhan/ratusan rumah-rumah adat tradisional
Nias menghadap ke halaman desa. Di
halaman desa ini, di depan rumah adat tradisionil dibangun daro-daro (tempat
duduk dari batu), hombo batu (lompat batu), dan bale (tempat pertemuan
tradisional Nias). Dalam setting panggung seperti inilah biasanya Fatele
ditampilkan oleh desa-desa di Nias Selatan, khususnya kecamatan Teluk Dalam.
Konsep tradisionil ini penting untuk dipahami karena memiliki konsekwensi
logis terhadap sebuah group seni pertunjukan tradisi. Khusus di Teluk Dalam, sebuah group seni
pertunjukan selalu merupakan group kesenian desa/banua, yang didukung oleh
seniman-seniman dari desa itu sendiri, dan membawakan seni pertunjukan yang
diakui sah oleh desa bersangkutan. Oleh karena itu, setiap desa memiliki seni
pertunjukan yang berbeda-beda pula.
Dalam tulisan ini, seni pertunjukan Fatele atau tari perang yang penulis
ceritakan adalah yang berasal dari desa Hilisimaetanő.
Secara kronologis, sebuah pertunjukan fatele adalah sebagai berikut:
- Pertama-tama: Group si fatele ini berbaris
dalam formasi tiga barisan, memanjang ke belakang sambil memegang tombak
di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Penyanyi hoho kemudian membawakan Hoho
ba fe’aso, sebuah nyanyian pembuka yang mengungkapkan tujuan dari
kedatangan sebuah group/desa.
- Kemudian diikuti dengan foalő, sebuah
tarian yang diiringi dengan hoho Foalő.
Ciri khas hoho ini adalah diawali dengan syair: Beta’ő gaő, beta’ő
gaő ya tumőrő (=silakan minggir , silakan minggir, ada yang mau lewat). Dalam konsep tradisi, syair ini berhubungan
dengan persiapan pemberian sirih
(afo) yang dibawakan oleh perempuan-perempuan dengan tarian mogaele.
- Foalő
kemudian diikuti dengan Faluaya Zanőkhő, sebuah tarian dalam pola ritmis 3
langkah yang diiringi dengan hoho Faluaya Zanőkhő dengan pola ritmis 10.
- Selanjutnya
adalah Faluaya Si’őligő,
sebuah tarian melingkar sambil pegangan tangan. Dalam tarian inilah,
tarian mogaele yang dibawakan oleh sejumlah perempuan mengambil peranan,
melalui lingkaran Faluaya Si’őligő
membawa sirih sambil dikawal oleh anggota si fatele.
- Peperangan (Fanufő). Dalam bagian ini group atele dibagi dua: yaitu pihak desa/banua yang diserang (sobanua) dan pihak musuh (nemali). Adegan dimulai dengan mana’a atau ronda yang dilakukan oleh seorang dari sobanua, dan menemukan bahwa ada musuh yang menyerang desa mereka. Kemudian terjadi peperangan dengan kekalahan pihak emali (musuh yang menyerang desa). Kekalahan musuh ini ditandai dengan teriakan “Alokha khő nemali” (celakalah musuh yang menyerang desa kita).
- Kemudian dilantunkan AE HOHOI, yang
mengisyaratkan ajakan untuk melaporkan kemenangan itu kepada Si’ulu desa
tersebut (si’ulu adalah kaum bangsawan tradisionil pemimpin desa). Dan dilanjutkan dengan menyanyikan
“hemitae”, yang berarti mari kita beritahu kemenangan kita atas musuh yang
ingin menghancurkan desa kita.
- Setelah itu, dilanjutkan dengan Fadőli
Hia, sebuah tarian yang diiringi dengan hoho Fadőli Hia yang diawali
dengan syair “datalau maluaya, he” sebuah ajakan untuk menari di halaman
desa.
- Adegan ini
kemudian dilanjutkan dengan
“orahua”, yaitu rapat desa yang membicarakan kemenangan desa tersebut
atas kekuatan perusak dari nemali. Yang melibatkan para pimpinan adat desa
yaitu para si’ulu dan si’ila.
Selanjutnya diperagakan fatele dan famanu-manu. Tarian Fatele adalah tarian tunggal yang dimulai dengan melompat di tempat
sambil memegang tombak dan perisai. Ketika melompat, pertama-tama perisai
di hentakkan di lutut dan ketika di udara ujung kaki menyepak perisai.
Secara tradisionil, lompatan ini harus dilakukan dalam jumlah ganjil
(satu, tiga, lima kali dst). Tidak boleh dalam jumlah genap. Lompatan yang baik adalah jika si fatele
tidak bergeser dari tempatnya setelah beberapa kali melompat. Selanjutnya di peragakan bagaimana
mempergunakan tombak dan pedang secara berurutan. Adegan ini kemudian diakhiri dengan
famanumanu, yaitu tarian yang memperlihatkan bagaimana pahlawan dari banua
tersebut mengalahkan musuh dalam sebuah duel (pertarungan satu
lawan satu). Esensi dari bagian ini
adalah melaporkan bagaimana pahlawan desa tersebut mengalahkan musuh yang
menyerang mereka.
Fatele! Tarian teatrikal ini dibuka
dan ditutup dengan fanoho'o. Sebuah teriakan dari seorang pemain yang
menyerukan untuk bersatu, dan dijawab oleh semua pemain dengan teriakan
melengking. Inilah Fatele, Tari perang
yang tidak haus perang, tidak ingin menjajah dan tidak ingin dijajah. Fatele,
adalah tarian untuk survive, mungkin
inilah yang mnyebabkan ada banyak desa besar di Teluk Dalam, Nias Selatan.
Taaaaaarihumőhő banuaaa Hiliiiiisimaetanő... Hu!! Ba hizale!! Demikianlah
teriakan survival tersebut melengking-lengking di udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar