Menanggapi Pernyataan
Pastoral PGI tentang LGBT
Oleh: Calvin
Dachi
Pendahuluan
Pada tanggal 17 Juni
2016 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengeluarkan pernyataan pastoral
yang menghebohkan tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Istilah “pernyataan pastoral” itu sendiri
secara implisit memperlihatkan bahwa PGI menilai adanya sikap yang salah dari
gereja-gereja terhadap mereka yang disebut LGBT. Karena itu, walaupun surat pernyataan
pastoral ini tidak bersifat mengikat, namun sebuah sistem teologis dan sistem
nilai tertentu mencuat dari pernyataan PGI tersebut, dan sepantasnya kalangan pendeta dan ahli-ahli
teologi untuk menanggapi surat pernyataan tersebut.
Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut, penulis perlu menggarisbawahi
bahwa tulisan ini bukan dibuat berdasarkan pertimbangan medis atau dari sudut
pandang kedokteran (penulis tidak punya kapasitas medis), melainkan dibuat berdasarkan
pertimbangan teologis dan tentu saja dari sudut pandang teologis dan
biblical. Karena itu diskusi di dalam tulisan
ini tidak membahas fenomena tentang variasi pandangan medis tentang fenomena
LGBT ini.
Bagian
Pengantar: Strategi Mengaburkan Makna
Teologis
Kalau kita membaca “Pernyataan Pastoral
PGI tentang LGBT” maka kita perlu
menyadari bahwa ada banyak sekali pernyataan yang tidak jelas dan ambigu yang
dibuat oleh PGI. Mis.: Pernyataan dalam pengantar “Manusia adalah
gambar dan citra Allah yang sempurna”
menimbulkan pertanyaan apakah kata “sempurna mengacu kepada Allah atau
kepada gambar/citra”. Kalau yang
dimaksud PGI: manusia adalah gambar dan
citra yang sempurna dari Allah, maka gambar atau citra itu tidak mungkin cacat
atau rusak. Itulah sebabnya dalam
pengantar ini tidak disinggung sama sekali tentang kejatuhan manusia dalam dosa
serta akibatnya terhadap gambar dan citra tersebut.
Selanjutnya dalam pengantar point 2
PGI mengatakan: “Allah menciptakan
manusia, makhluk dan segala ciptaan yang beranekaragam dan berbeda-beda satu
sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, gender, orientasi
seksual dan agama.” Disini PGI sengaja
membuat strategi wacana yang menempatkan “orientasi seksual” sebagai bagian
dari keanekaragaman. Supaya lebih jelas
penulis memperlihatkan bagaimana PGI diam-diam sudah menyatakan LGBT itu diciptakan
oleh Tuhan dengan mengatakan “Allah menciptakan manusia … yang beranekaragam dan berbeda-beda satu
sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman … orientasi seksual …” Walaupun dalam point 2, klaim PGI bahwa LGBT
diciptakan oleh Tuhan dinyatakan dengan tidak jelas dan eksplisit, namun
konteks keseluruhan memperlihatkan bahwa yang dimaksud dengan orientasi seksual
adalah termasuk didalamnya LGBT.
Setelah menggiring pembaca untuk
tanpa sadar mengakui LGBT sebagai karya cipta Tuhan, kemudian PGI mengatakan
dalam poin 3 agar kita saling menerima, saling menghormati, menjaga dan
memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam (tentu termasuk menjaga dan
memelihara LGBT).
“Bersikap positif dan realistis dalam keanekaragaman
berarti kita harus saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan
saling menghormati satu sama lain… Bersikap positif dan realistis berarti kita
menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar
mendatangkan kebaikan bagi umat manusia, bagi segala makhluk dan bagi bumi ini.”
Uraian di atas
memperlihatkan bahwa di bagian pengantar PGI sudah menginfiltrasi pembaca untuk
mengakui dan menerima fenomena LGBT sebagai bagian keanekaragaman yang
diciptakan oleh Tuhan dan dengan demikian kita bertanggung jawab untuk
memlihara persekutuan dengan mereka.
Titik
Tolak PGI: Pernyataan Yang Tidak Lengkap
Salah satu kesulitan dalam menanggapi “Pernyataan Pastoral
PGI tentang LGBT” adalah
pernyataan-pernyataan yang tidak jelas dan kabur. Sebagai contoh adalah Titik Tolak no 6
Ketika
kita menghadapi persoalan moral, salah
satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci. Penafsiran terhadap teks
Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud
dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi
menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu
ditulis. (bold oleh penulis)
Dalam Titik Tolaknya, PGI
bicara masalah “penafsiran tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan teks”. Dan sekalipun PGI mengangkat ini, namun dalam
pernyataan-pernyataan berikutnya, PGI sama sekali tidak memaparkan secara
eksplisit apa sebenarnya “maksud dan tujuan” penulis Kejadian, Ulangan,
Hakim-hakim, Roma dan sebagainya. Dengan
demikian, kita juga tidak tahu bagaimana PGI mempertimbangkan “maksud dan
tujuan penulis Kitab Suci” dalam menafsirkan
nats-nats yang mereka kutip. Tentu saja
ini disengaja supaya kelemahan penafsiran PGI tidak bisa dikritisi karena tidak
jelas “maksud dan tujuan” seperti apa yang dimaksudkan oleh PGI dalam
tafsirannya.
Sehubungan dengan ini, penulis berpendapat bahwa kita
perlu mengeksplisitkan “maksud dan tujuan” tersebut dengan berbagai cara:
1.
1. Maksud dan tujuan kanonisasi Kitab Suci
sebagai ukuran dan standard iman orang percaya.
2. 2. Pernyataan Alkitab tentang dirinya
sendiri. Mis.: Dalam Ulangan 4:40
mengatakan supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan
supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk
selamanya. Atau menurut Paulus Perjanjian Lama sebagai penuntun Gal 3:24,
kitab suci bermanfaat untuk mendidik (2 Tim 3:16) dan sebagainya.
3. 3. Bahkan sudah disepakati oleh banyak ahli
bahwa Kejadian 1-11 memperlihatkan bagaimana keadaan manusia yang semakin lam
semakin buruk setelah jatuh dalam dosa dan Kej 12 – 50 berbicara bagaimana
Allah melaksanakan karya penyelamatanNya dengan memilih Abram.
Masalah yang kita
temukan dalam pernyataan pastoral PGI adalah tidak adanya rumusan eksplisit tentang maksud dan tujuan penulisan
Kitab Suci menurut PGI. Menurut
saya, inilah salah satu strategi yang dibuat PGI untuk menangkis
kritikan-kritikan dan penolakan atas pernyataan mereka. Ilmu berkelit yang kurang mendidik. Sehingga PGI kemudian berani berkata
Berkenaan
dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tetapi Alkitab tidak memberikan penilaian
moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka. Alkitab tidak
mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi adalah
perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun,
termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap
‘normal’.
Penulis sengaja memberikan tekanan pada pernyataan “Alkitab tidak memberikan penilaian
moral-etik”. Pertanyaannya: benarkah
demikian? Apa PGI tidak tahu bahwa DOGMATIKA
dan ETIKA pada awalnya adalah bidang teologi yang satu. Setelah dipisah,
sekarang Dogma dan Etika berada di bawah payung bidang Teologi Sistematika.
Jika dogma bicara tentang dasar-dasar iman Kristen, maka Etika mengatur bagaimana
seharusnya berperilaku sesuai dengan doktrin iman yang dipegangnya. Lalu berdasarkan apa dogma dan etika disusun
kalau bukan berdasarkan Alkitab?
Konsep
PGI tentang Dosa
Sekali lagi penulis ungkapkan bahwa
PGI tidak menjelaskan apapun tentang dosa.
Namun dari pernyataan PGI kita bisa melihat bagaimana PGI memahami
dosa. Untuk itu penulis kutip apa yang
dikatakan PGI dalm Titik Tolak poin 6.
Alkitab tidak
mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi adalah
perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun,
termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap
‘normal’.
Ini adalah argument PGI yang secara
halus akan dikembangkan dengan pernyataan Medis tentang LGBT dalam rekomendasi
8, sebagai berikut:
Pernyataan dari badan kesehatan dunia,
WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu
kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan
hak-hak mereka sebagai sesama manusia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993)
bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah penyakit
spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang
natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus
kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial. Sulit membedakan
mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun
demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan,
tetapi sesuatu yang terterima (given). Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi
yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah
suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga
tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus
menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.
Penulis sengaja
memperlihatkan hubungan poin 6 dengan poin 8 ini karena dasar PGI mengatakan itu adalah dengan membedakan antara orientasi
seksual dan perilaku seksual. Para
pendukung PGI akan selalu berlindung dibalik pembedaan ini dengan berkata “yang
kami katakan bahwa orientasi seksual LGBT tidak dosa. Orientasi seksual itu bukan perilaku seksual”. Tentu saja itu beda! Biasanya mereka menolak berkomentar jika kita
tanya apakah pernikahan sesame jenis itu dosa atau tidak? Pendukung LGBT kemudian berkelit kepada HAM
(Hak Azasi Manusia). Dengan demikian,
menurut PGI dosa barulah disebut dosa jika diwujudkan dalam perilaku. Pikiran dan keinginan yang jahat itu bukan
dosa karena belum dilakukan. Setelah dilakukan
barulah itu dosa. Benarkah konsep PGI
tentang dosa ini?
Pertanyaan dasar adalah “apa itu dosa”? Dalam Alkitab ada berbagai cara untuk
menyebut dosa. Sebuah kata yang penting adalah khata (kel 20:20; Ams
8:36) yang berarti kehilangan atau salah sasaran. Dalam bahasa Yunani
yang mirip dengan itu disebut hamartaon (kata benda: hamartia).artinya
gagal mencapai sasaran. Jika dosa
disebut dengan istilah tersebut, maka yang dimaksud adalah bahwa manusia kehilangan
tujuannya atau tidak mencapai tujuannya, sebab ia tidak memperhatikan peraturan
yang diadakan oleh Tuhan Allah. Istilah
yang paling berat yang menunjukkan sifat dosa adalah pasha:“memberontak”,
yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (Hos 8:1). Jadi disini hakekat dosa dilihat sebagai
pemberontakan yang dengan sadar terhadap Raja segala Raja, yang disebabkan
ketinggian hati.
Jika kita
bertanya: apa maksud Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan? Atau siapa akhirnya yang menjadi “penolong
yang sepadan” bagi Adam? Secara teologis
jelas bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk rencana Allah yang
jelas diungkapkan dalam Kej 1: 28 “"Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Laki-laki dan perempuan itu disebut satu, utuh
dan penuh. Dan dalam Matius 19:4 Yesus
berkata: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak
semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan kemudian dalam Matius 19
: 5-6 Yesus berkata “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”
Artinya: Bersatunya laki-laki dan perempuan adalah ketetapan Allah sejak
semula dan Dan Allah menghendaki Allah agar kesatuan itu tidak diganggu
gugat! “Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6)
Walaupun ini tentang perceraian, tetapi substansinya jelas: yang dikehendaki Allah adalah kesatuan
laki-laki dan perempuan yang tidak boleh dipisahkan oleh apa pun juga. Jika LGBT menghalangi bersatunya laki-laki
dan perempuan, maka itu tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan
oleh Allah. Dan itu adalah khatta atau hamartia alias DOSA.
Mungkin
PGI dan pendukungnya akan berkata: Tapi
orientasi seksual tidak sama dengan perilaku seksual. Dan untuk itu penulis menjawab, sejak
orientasinya LGBT maka tujuan dan kehendak Allah dalam dirinya sudah ditolaknya
di dalam hatinya. Artinya: orang tersebut
sudah tidak hidup menurut arah yang ditentukan Allah.
Selain itu,
dalam Alkitab dosa bukan dimulai dari perbuatan, melainkan sudah dimulai dari
keinginan. Bahkan dalam PB Tuhan Yesus berkata:
”Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah
berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat
5:28) dan lebih lanjut Yesus berkata: "Apa
yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul
segala pikiran jahat…” (Mat 7:20-23).
Dengan demikian pemisahan antara orientasi seksual dan perilaku seksual
sudah tidak sahih lagi secara teologis.
Penutup
Ada banyak lagi yang bisa dikupas
tuntas dari “Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT”, misalnya: bagaimana penafsiran
ayat-ayat yang dicantumkan oleh PGI, apakah temuan ilmu pengetahuan bisa dijadikan dasar menetapkan bahwa
perilaku tertentu adalah dosa atau bukan?
Tetapi penulis menyadari, untuk membahas hal itu diperlukan studi yang
lebih komprehensif lagi.