Kamis, 11 September 2014

Mengenal gerakan Pentakosta (Bagian 3): POLA IBADAH PENTAKOSTALISME


Mengenal gerakan Pentakosta  (Bagian 3):
POLA  IBADAH  PENTAKOSTALISME
Oleh: Calvin Dachi, MAIE, MTh

Pendahuluan
Model ibadah Pentakosta Kharismatik sudah berjalan selama lebih dari satu abad.  Pola ibadah yang sekarang adalah perkembangan dari pola ibadah yang dimulai oleh William Seymour di Azusa Street.   Untuk memahami ibadah 
Pentakosta/Kharismatik saat ini, penulis akan menelusuri kembali bagaimana pelaksanaan ibadah pada awal berdirinya Pentakostalisme di Azusa Street.   Hal yang menarik dari gerakan ini adalah bahwa pada awalnya pentakostalisme merupakan gerakan akar rumput (grass root) yang anggotanya adalah orang-orang miskin, bekas budak kulit hitam di Amerika.  Keterlibatan beberapa orang golongan ekonomi kelas menengah ternyata tidak mempengaruhi kepemimpinan rohani orang miskin dan orang kulit hitam di gerakan Pentakosta modern.  Sebelum gerakan menentang diskriminasi ras oleh pdt Martin Luther King Jr., gerakan Pentakosta justru sudah menempatkan pemimpin-pemimpin rohani kulit hitam yang memimpin baik orang kulit hitam maupun kulit putih sehingga mendobrak kebekuan rasisme pada waktu itu.  Hal ini juga tercermin dalam pola ibadah gerakan Pentakostalisme.
Ibadah Pentakosta modern pada awalnya dilakukan di rumah jalan Bonnie Brae.  Kegemparan yang terjadi akibat baptisan Roh Kudus pada 9 April menyebabkan orang banyak mulai berbondong-bondong dating ke rumah tersebut.  Berdasarkan kesaksian para saksis mata, sesudah kejadian 9 April  pertemuan-pertemuan ibadah di rumah jalan Bonnie Brae berlangsung dua puluh empat jam setiap hari selama paling sedikit tiga hari.  Orang melaporkan kejatuhan di bawah kuasa Allah dan menerima baptisan Roh Kudus dengan bukti berbahasa roh saat mendengarkan khotbah Seymour dari seberang jalan.
          Karena orang banyak yang jumlahnya bertambah besar, maka terjadi tekanan dari orang yang berusaha masuk ke rumah tersebut.  Akibatnya, fondasi rumah rusak, menggeser serambi depan rumah rubuh ke halaman depan. Namun tidak seorang pun yang terluka.  Karena itulah, ibadah kemudian dipindahkan ke Azussa Street.

         
                                   Pola Anti Struktur
 

Didorong oleh kebebasan baru dan oleh penolakan yang terjadi, orang-orang percaya Pentakosta mulai membersihkan apa yang mereka angap sebagai buatan manusia semata, seperti hirarki denominasi yang konvensioanal.  Orang-orang Pentakosta berhasrat menggantikan struktur-struktur ini dengan pememerintahan ilahi yang diinspirasikan berdasarkan model dalam Alkitab.   Pada umumnya, orang-orang Pentakosta tidak memandang diri mereka sebagai bagian yang terpisah dari gereja Kristen.  Mereka melihat diri mereka sebagi gerakan “di dalam” gereja Kristen yang digunakan oleh Allah untuk sekali lagi membawa hidup ke tubuh yang terlalu berlebihan organisasi dan tanpa roh.  Para pemimpin tidak pernah mendorong untuk berdirinya sebuah bentuk denominasi Pentakosta yang terpisah.  Mereka menyebut diri mereka dan gerakan mereka sebagai “non-denominasionalism”.  Secara bulat mereka berusaha tetap tinggal dalam afiliasi mereka sebelumnya dan menyebarkan teologi Pentakosta yang baru.  Ini dulu disebut “sharing the truth” oleh orang-orang Pentakosta dan “infiltrasi” oleh saudara-saudara tradicional mereka.
Pola yang bertendensi anti-struktur ini juga muncul dipermukaan dalam pola-pola yang ditetapkan oleh Azusa Street Mission. 
·        Menghapus garis antara pendeta dan jemaat.  Mengikuti kepercayaan mereka bahwa Roh Kudus akan memimpin semua orang percaya dan bukan hanya para pemimpin, setiap orang bebas untuk berbicara, bahkan selama ibadah.
·        Mereka juga menghapus garis antara wilayah yang dianggap kudus/suci dengan wilayah profan/duniawi. Mereka juga mengajarkan bahwa Roh Kudus dan Injil seharusnya tidak dibatasi dalam keempat dinding dari gedung gereja.  Dan karena itu, mereka menggunakan setiap kesempatan untuk bersaksi, di tengah pekerjaan atau di jalan. 
·        Menghapus garis antara liturgy gerejawi dengan apa yang kadang dituduh spiritual anarchy. Lebih jauh, mereka percaya bahwa Roh Kudus seharusnya bebas untuk memimpin ibadah, namun Dia berhasrat memimpin untuk menyanyi dan bersaksi, berkhotbah, dan mengajar untuk digabungkan dengan begitu saja di keseluruhan pertemuan.
·        Fenomena tertinggi yang bersifat antistruktur dari Azusa Street tentu saja terletak pada cirri gerakan ini yaitu: berbicara dalam bahasa roh.  Ini adalah pengalaman yang sungguh-sungguh mengesampingkan batasan yang dibuat berdasarkan konvensi manusia dan memberikan kendali kebebasan kepada Roh.  Dalam bahasa roh, tindakan manusia sepenuhnya disangkal dan struktur dasar bahasa sendiri dikesampingkan. 




 Ibadah Pentakosta di Azusa Street

  Tempat Ibadah

    Ibadah di Azusa Street dilakukan di gedung yang kecil, empat persegi panjang, dengan atap rata, sekitar 2400 feet kwadrat (40 x 60) dengan dinding dari papan.
   Seymour dan beberapa orang lainnya menempatkan papan di atas tong yang kosong untuk tempat duduk bagi sekitar tiga puluh atau empat puluh orang.
   Seymour membuat sesuatu yang luar biasa dalam susunan tempat duduk.  Dalam hampir semua gereja pada waktu itu, mimbar diletakkan di salah satu ujung gedung, biasanya dekat dengan altar dengan tempat duduk disusun dari altar ke ujung di seberangnya dalam dua baris.
     Seymour meletakkan podium di tengah dan susunan tempat duduk dengan mimbar di tengah podium, dengan altar doa yang rendah mengelilingi podium.  Dua peti kayu kosong (yang biasanya dibuat sebagai tempat sepatu) berfungsi sebagai mimbar.
         Lantai dua dikosongkan dan dipakai sebagai “Upper Room” dimana orang akan “tinggal hingga mereka diperlengkapi dengan kuasa dari tempat tinggi.” 
         Lantai atas  juga berfungsi ganda, sebagai tempat tidur Seymour dan selebihnya untuk staff fulltimer.




 Tata Ibadah


·        Pertemuan-pertemuan di Azusa Street biasanya dibuka dengan doa, pujian dan kesaksian yang ditandai oleh pesan-pesan dalam bahasa roh, dan sebuah nyanyian dalam bahasa Inggris atau bahasa yang tdak dikenal.  
·        Ketika seseorang menerima pengurapan untuk sebuah pesan, mereka akan berdiri dan berkhotbah. 
·        Sesudah kesaksian pribadi dari hadirin setempat, dibaca surat-surat dari orang yang mendengar kebangunan rohani dan  terinspirasi untuk mencari baptisan Roh Kudus.  Ribuan surat membuktikan bahwa banyak orang diberbagai tempat menerima baptisan Roh Kudus sesudah mendengar pencurahan Azusa Street dan meminta Tuhan untuk menjamah mereka disana.   Pembacaan surat-surat ini biasanya mendorong pujian yang lebih lagi.  
·        Mengenai kesaksian-kesaksian yang berkaitan dengan kesembuhan, seorang ahli sejarah agama bernama Martin E. Marty mengatakan, “Kesaksian-kesaksian kesembuhan sangat mengejutkan dan terjadi berulang-ulang dan sangat mengagumkan.”   Satu contoh adalah seorang gadis  yang pada suatu malam dibaptis dengan Roh Kudus, dan pagi berikutnya dia berjalan ke dalam pertemuan itu dimana dia melihat seorang wanita yang lumpuh selama tiga puluh dua tahun.  GAdis itu berjalan menghampiri wanita lumpuh itu dan berkata “Yesus mau menyembuhkanmu.”   Jari-jari dan kaki wanita itu segera menjadi baik lagi dan dia pun berjalan.
·        Ketika Seymour berkhotbah, dia menekankan perlunya menolak dosa dan menerima Yesus sebagai juruselamat pribadi.  Dia tidak menekankan bahasa roh atau manifestasi lainnya.  Berulang kali dia katakan bahwa jika mereka menceritakan tentang kebangunan rohani kepada orang lain, mereka harus menceritakan tentang Yesus, bahwa Dia adalah Tuhan, dan banyak orang diselamatkan.  Dia juga mendorong semua orang untuk mengalami kuasa Allah, berbalik dari dunia, tinggalkan tradisi-tradisi yang kaku dan legalistis dari kekristenan formal dan sebagai gantinya mencari keselamatan, pengudusan, dan baptisan dalam Roh Kudus.  Dua pesan teologi lain yang ditonjolkan oleh para pengkhotbah  di Azusa Street adalah mengenai kesembuhan ilahi dan premillenial kedatangan Yesus kedua kali.
·        Pelayanan doa di altar sekitarnya hanya berlangsung singkat saja, walaupun doa diteruskan di lantai dua.  Orang-orang berdoa dalam group untuk kebutuhan apa saja yang mereka bawa.  Ibadah penyembahan terdiri dari bernyanyi, bersorak dan berdoa secara tiba-tiba.  Ibadah sangat hidup dan tidak ada waktu kosong.  Seorang pengunjung berkata: “Doa dan penyembahan dimana-mana.  Di sekitar altar dipenuhi oleh para pencari (the seeker); sebagian berlutut, yang lain telungkup di atas lantai, dan sebagian lainnya berbahasa roh.  Setiap orang melakukan sesuatu semuanya tenggelam di dalam Allah.



Musik dalam Ibadah di Azusa Street
Kebanyakan orang di Azusa Street adalah dari latar belakang gereja kekudusan yang tidak menggunakan alat musik dalam ibadahnya.  Setidaknya selama setahun ibadah pujian dan penyembahan dijalan dengan tanpa alat musik(a capella).  Tetapi ada banyak laporan bahwa mereka menggunakan pola ritem khas dengan tepuk tangan, menampar paha atau dengan hentakan kaki.  Banyak nyanyian dikatakan sebagai bernyanyi dalam roh, spontan dengan lagu yang belum pernah di dengar sebelumnya.


Disadur dari:
Synan, Vinson, The Century of the Holy Spirit: 100 Years of Pentecostal and Charismatic Renewal, Nashville: Thomas Nelson Publishers, 2001.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar