Mengenal gerakan Pentakosta (Bagian 3):
POLA IBADAH
PENTAKOSTALISME
Oleh: Calvin Dachi, MAIE, MTh
Pendahuluan
Model ibadah Pentakosta Kharismatik sudah berjalan selama
lebih dari satu abad. Pola ibadah yang
sekarang adalah perkembangan dari pola ibadah yang dimulai oleh William Seymour
di Azusa Street. Untuk memahami ibadah
Pentakosta/Kharismatik saat ini, penulis akan menelusuri kembali bagaimana
pelaksanaan ibadah pada awal berdirinya Pentakostalisme di Azusa Street. Hal yang menarik dari gerakan ini adalah
bahwa pada awalnya pentakostalisme merupakan gerakan akar rumput (grass root)
yang anggotanya adalah orang-orang miskin, bekas budak kulit hitam di
Amerika. Keterlibatan beberapa orang
golongan ekonomi kelas menengah ternyata tidak mempengaruhi kepemimpinan rohani
orang miskin dan orang kulit hitam di gerakan Pentakosta modern. Sebelum gerakan menentang diskriminasi ras
oleh pdt Martin Luther King Jr., gerakan Pentakosta justru sudah menempatkan
pemimpin-pemimpin rohani kulit hitam yang memimpin baik orang kulit hitam
maupun kulit putih sehingga mendobrak kebekuan rasisme pada waktu itu. Hal ini juga tercermin dalam pola ibadah
gerakan Pentakostalisme.
Ibadah Pentakosta modern pada awalnya dilakukan di rumah jalan Bonnie Brae. Kegemparan yang terjadi akibat baptisan Roh
Kudus pada 9 April menyebabkan orang banyak mulai berbondong-bondong dating ke
rumah tersebut. Berdasarkan kesaksian
para saksis mata, sesudah kejadian 9 April
pertemuan-pertemuan ibadah di rumah jalan Bonnie Brae berlangsung dua
puluh empat jam setiap hari selama paling sedikit tiga hari. Orang melaporkan kejatuhan di bawah kuasa
Allah dan menerima baptisan Roh Kudus dengan bukti berbahasa roh saat
mendengarkan khotbah Seymour dari seberang jalan.
Karena orang banyak yang jumlahnya
bertambah besar, maka terjadi tekanan dari orang yang berusaha masuk ke rumah
tersebut. Akibatnya, fondasi rumah
rusak, menggeser serambi depan rumah rubuh ke halaman depan. Namun tidak
seorang pun yang terluka. Karena itulah,
ibadah kemudian dipindahkan ke Azussa Street.
|
Didorong oleh kebebasan
baru dan oleh penolakan yang terjadi, orang-orang percaya Pentakosta
mulai membersihkan apa yang mereka
angap sebagai buatan manusia semata,
seperti hirarki denominasi yang
konvensioanal. Orang-orang Pentakosta
berhasrat menggantikan struktur-struktur
ini dengan pememerintahan ilahi yang diinspirasikan berdasarkan model dalam
Alkitab. Pada umumnya, orang-orang
Pentakosta tidak memandang diri mereka sebagai bagian yang terpisah dari gereja
Kristen. Mereka melihat diri mereka
sebagi gerakan “di dalam” gereja Kristen
yang digunakan oleh Allah untuk sekali lagi membawa hidup ke tubuh yang terlalu
berlebihan organisasi dan tanpa roh.
Para pemimpin tidak pernah mendorong untuk berdirinya sebuah bentuk
denominasi Pentakosta yang terpisah.
Mereka menyebut diri mereka dan gerakan mereka sebagai “non-denominasionalism”. Secara bulat mereka berusaha tetap tinggal
dalam afiliasi mereka sebelumnya dan menyebarkan teologi Pentakosta yang
baru. Ini dulu disebut “sharing the
truth” oleh orang-orang Pentakosta dan “infiltrasi” oleh saudara-saudara
tradicional mereka.
Pola yang bertendensi anti-struktur ini juga muncul
dipermukaan dalam pola-pola yang ditetapkan oleh Azusa Street Mission.
·
Menghapus garis antara
pendeta dan jemaat. Mengikuti kepercayaan mereka bahwa Roh Kudus akan memimpin semua orang percaya
dan bukan hanya para pemimpin, setiap
orang bebas untuk berbicara, bahkan selama ibadah.
·
Mereka juga menghapus garis antara wilayah yang
dianggap kudus/suci dengan wilayah profan/duniawi. Mereka juga mengajarkan bahwa Roh Kudus dan Injil
seharusnya tidak dibatasi dalam keempat dinding dari gedung gereja. Dan karena itu, mereka menggunakan setiap
kesempatan untuk bersaksi, di tengah pekerjaan atau di jalan.
·
Menghapus garis antara liturgy gerejawi dengan apa
yang kadang dituduh spiritual anarchy. Lebih
jauh, mereka percaya bahwa Roh Kudus seharusnya bebas untuk memimpin ibadah,
namun Dia berhasrat memimpin untuk menyanyi dan bersaksi, berkhotbah, dan
mengajar untuk digabungkan dengan begitu saja di keseluruhan pertemuan.
·
Fenomena
tertinggi yang bersifat antistruktur dari Azusa Street tentu saja terletak pada
cirri gerakan ini yaitu: berbicara dalam bahasa roh. Ini adalah pengalaman yang sungguh-sungguh
mengesampingkan batasan yang dibuat berdasarkan konvensi manusia dan memberikan
kendali kebebasan kepada Roh. Dalam bahasa roh,
tindakan manusia sepenuhnya disangkal dan struktur dasar bahasa sendiri
dikesampingkan.
Ibadah Pentakosta di
Azusa Street
Tempat Ibadah
• Ibadah di Azusa Street
dilakukan di gedung yang kecil, empat persegi panjang, dengan atap
rata, sekitar 2400 feet kwadrat (40 x 60) dengan dinding dari papan.
• Seymour dan beberapa orang lainnya menempatkan papan di atas tong yang kosong untuk tempat duduk
bagi sekitar tiga puluh atau empat puluh orang.
• Seymour membuat
sesuatu yang luar biasa dalam susunan tempat duduk. Dalam hampir semua gereja pada waktu itu,
mimbar diletakkan di salah satu ujung gedung, biasanya dekat dengan altar
dengan tempat duduk disusun dari altar ke ujung di seberangnya dalam dua baris.
• Seymour meletakkan podium di tengah dan susunan tempat duduk dengan
mimbar di tengah podium, dengan altar doa yang rendah mengelilingi podium. Dua peti kayu kosong (yang biasanya dibuat
sebagai tempat sepatu) berfungsi sebagai mimbar.
•
Lantai dua dikosongkan dan dipakai
sebagai “Upper Room” dimana
orang akan “tinggal hingga mereka diperlengkapi dengan kuasa dari tempat
tinggi.”
•
Lantai atas juga berfungsi ganda, sebagai tempat tidur Seymour dan selebihnya untuk staff fulltimer.
Tata Ibadah
·
Pertemuan-pertemuan
di Azusa Street biasanya dibuka dengan
doa, pujian dan kesaksian yang ditandai oleh pesan-pesan dalam bahasa roh,
dan sebuah nyanyian dalam bahasa Inggris atau bahasa yang tdak dikenal.
·
Ketika seseorang menerima
pengurapan untuk sebuah pesan, mereka akan berdiri dan berkhotbah.
·
Sesudah kesaksian pribadi dari hadirin setempat, dibaca surat-surat dari orang yang
mendengar kebangunan rohani dan
terinspirasi untuk mencari baptisan Roh Kudus. Ribuan surat membuktikan bahwa banyak orang
diberbagai tempat menerima baptisan Roh Kudus sesudah mendengar pencurahan
Azusa Street dan meminta Tuhan untuk menjamah mereka disana. Pembacaan
surat-surat ini biasanya mendorong pujian yang lebih lagi.
·
Mengenai kesaksian-kesaksian yang berkaitan dengan
kesembuhan, seorang ahli sejarah
agama bernama Martin E. Marty mengatakan, “Kesaksian-kesaksian kesembuhan
sangat mengejutkan dan terjadi berulang-ulang dan sangat mengagumkan.” Satu contoh adalah seorang gadis yang pada suatu malam dibaptis dengan Roh Kudus,
dan pagi berikutnya dia berjalan ke dalam pertemuan itu dimana dia melihat
seorang wanita yang lumpuh selama tiga puluh dua tahun. GAdis itu berjalan menghampiri wanita lumpuh itu dan
berkata “Yesus mau menyembuhkanmu.”
Jari-jari dan kaki wanita itu segera menjadi baik lagi dan dia pun
berjalan.
·
Ketika Seymour berkhotbah, dia menekankan perlunya
menolak dosa dan menerima Yesus sebagai juruselamat pribadi. Dia tidak menekankan bahasa roh atau
manifestasi lainnya. Berulang kali dia
katakan bahwa jika mereka menceritakan tentang kebangunan rohani kepada orang
lain, mereka harus menceritakan tentang Yesus, bahwa Dia adalah Tuhan, dan
banyak orang diselamatkan. Dia juga
mendorong semua orang untuk mengalami kuasa Allah, berbalik dari dunia,
tinggalkan tradisi-tradisi yang kaku dan legalistis dari kekristenan formal dan
sebagai gantinya mencari keselamatan, pengudusan, dan baptisan dalam Roh
Kudus. Dua pesan teologi lain yang
ditonjolkan oleh para pengkhotbah di
Azusa Street adalah mengenai kesembuhan ilahi dan premillenial kedatangan Yesus
kedua kali.
·
Pelayanan doa di altar sekitarnya hanya berlangsung
singkat saja, walaupun doa diteruskan di lantai dua. Orang-orang
berdoa dalam group untuk kebutuhan apa saja yang mereka bawa. Ibadah penyembahan terdiri dari bernyanyi, bersorak dan
berdoa secara tiba-tiba. Ibadah sangat
hidup dan tidak ada waktu kosong.
Seorang pengunjung berkata: “Doa dan penyembahan dimana-mana. Di sekitar altar dipenuhi oleh para pencari
(the seeker); sebagian berlutut, yang lain telungkup di atas lantai, dan
sebagian lainnya berbahasa roh. Setiap
orang melakukan sesuatu semuanya
tenggelam di dalam Allah.
Kebanyakan
orang di Azusa Street adalah dari latar belakang gereja kekudusan yang tidak
menggunakan alat musik dalam ibadahnya. Setidaknya selama setahun
ibadah pujian dan penyembahan dijalan dengan tanpa alat musik(a capella). Tetapi ada banyak laporan bahwa mereka
menggunakan pola ritem khas dengan tepuk tangan, menampar paha atau dengan
hentakan kaki. Banyak nyanyian dikatakan
sebagai bernyanyi dalam roh, spontan dengan lagu yang belum pernah di dengar
sebelumnya.
Disadur dari:
Synan, Vinson, The Century of the Holy Spirit: 100 Years of Pentecostal and
Charismatic Renewal, Nashville: Thomas Nelson Publishers, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar