SEJARAH PELAYANAN PASTORAL
oleh: Calvin Dachi, SSi., MAIE., MTh
A. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah studi terhadap sejarah
pelayanan pastoral dari beberapa sumber.
Sumber-sumber utama yang membicarakan sejarah pelayanan pastoral ini
adalah buku Pastoral Care in Historical Perspective
yang ditulis William A Clebsch dan Charles R. Jaekle dan buku Teologi Penggembalaan: Sebuah Pengantar
yang ditulis oleh Derek J. Tidball.
Alasan untuk memilih kedua buku ini adalah karena penulis menilai bahwa
kedua buku ini berusaha untuk membahas sejarah pelayanan Pastoral dengan cukup
komprehensif dan dengan pendekatan yang cukup berbeda. Penulis lain yang membicarakan sejarah
pelayanan pastoral adalah Seward Hiltner.[1] Dalam bukunya Pengantar untuk Teologi pastoral Hiltner memberikan bab khusus
untuk membicarakan sejarah pastoral itu sendiri. Namun pembahasan sejarah pelayanan Pastoral
oleh Hiltner ini kurang menyeluruh karena hanya melihat sejarah pelayanan
Pastoral sejak jaman Reformasi gereja dan lebih focus pada apa yang melatari
kelahiran teologi pastoral dan perkembangan studi teologi pastoral
selanjutnya.
Dalam Pastoral Care
in Historical Perspective, Clebsch dan Jaekle membagi periode sejarah
pelayanan pastoral dalam 8 periode dengan perhatian khusus fungsi pastoral apa
yang dominan dalam setiap periode. Fungsi-fungsi
pastoral yang dimaksud oleh Clebsch dan Jaekle adalah empat fungsi pastoral
sebagai berikut:
1.
Healing (Menyembuhkan)
2.
Sustaining (Mendukung/Menopang)
3.
Guiding (Membimbing)
4.
Reconciling (Memulihkan)
Dapat dipastikan bahwa dalam setiap periode pastoral
pelayan-pelayan kekristenan menyembuhkan (healing) dan mendukung (sustaining)
dan membimbing (guiding) dan memuihkan (reconciling) orang-orang yang dalam
kebingungan/masalah. Namun setiap
periode juga memperlihatkan bahwa salah satu fungsi itu lebih menonjol dari
yang lainnya.
Disamping itu, dalam sejarah, ke empat fungsi pastoral itu
juga dioperasikan dengan berbagai modus dan cara. Mis.: di awal abad pertengahan pelajaran
katekisasi dalam dasar etika Kristen bersama dengan penyesalan dosa-dosa dan
hukuman yang sesuai adalah cara yang dominan dalam membimbing umat.
Berbeda dengan Clebsch dan Jaekle, dalam buku Teologi Penggembalaan: Sebuah Pengantar, Tidball membagi sejarah
pelayanan pastoral dalam 5 periode. Dalam ke lima periode pelayanan pastoral ini,
Tidball lebih memperhatikan perkembangan pelayanan pastoral dari waktu ke waktu
berdasarkan apa yang dikerjakan atau yang harus dikerjakan oleh para gembala
atau pejabat gerejawi. Kesamaan Tidball
dengan Clebsch adalah bahwa keduanya memperlihatkan bagaimana konteks historis
pastoral turut mempengaruhi pelayanan pastoral dalam setiap periode.
B. Sejarah Pelayanan Pastoral menurut Clebsch
dan Jaekle
I.
Kekristenan
Primitif: Mendukung/menopang (sustaining) dalam gereja Primitif.
Era pertama ini berakhir pada tahun 160
M. Cirinya pada penekanan sustaining
souls (mendukung atau menopang jiwa-jiwa) untuk bisa melalui perubahan hidup di
dunia yang dipercayai orang Kristen mula-mula akan berlangsung cepat kepada
akhir.
Pada
masa ini sikap orang Kristen sangat dipengaruhi oleh harapan bahwa kedatangan
Yesus kedua kali sudah dekat dan kesudahan dari keseluruh dunia. Karena itu para gembala cenderung
menasehatkan para budak untuk bersabar dengan keadaan meraka, para janda tetap
menjanda, yang belum nikah tetap tidak menikah dan seterusnya. Peringatan bahwa waktunya adalah singkat dan akhir zaman sudah dekat sangat kuat dalam
kekristenan primitive. Karena
pengampunan ilahi telah diterima oleh orang-orang percaya yang telah dibaptis, maka
mereka diharuskan untuk menjalani hidup yang suci. Namun dipertengahan abad ke 2, muncul masalah
dosa pasca baptisan. Hermas dalam
bukunya The Shepherd mencatat bahwa pengampunan tersedia bagi
mereka yang berdosa sesudah dibaptis, tetapi hanya untuk dosa yang kurang
menyedihkan (dosa yang tidak berat).[2]
II.
Di
bawah penindasan: Pemulihan selama Penganiayaan.
Dalam
era penganiayaan sekitar 180-306 M fungsi pemulihan (reconciling) orang-orang
yang bermasalah kepada Allah dan kepada gereja menjadi lebih penting dari pada
fungsi mendukung/menopang (sustaining). Kekaisaran
Romawi menuntut kesetiaan orang-orang Kristen terhadap kekaisaran. Masalah terjadi ketika kesetiaan orang Kristen itu
dituntut dengan cara partisipasi kultus Romawi.
Karena orang kristen sering menolak untuk ikut dalam kultus kekaisaran
Romawi, maka mereka dianiaya. Dalam
keadaan ini, banyak orang Kristen yang kompromi. Karena itu, selama periode ini para gembala
bekerja keras untuk menentukan tingkat dan jenis penolakan orang Kristen yang
dapat diampuni. Fungsi utama pastoral
dalam keadaan ini adalah memulihkan (reconciling) orang yang mengingkari
imannya untuk kembali ke gereja. Kemudian pengampunan pasca baptisan hanya
diizinkan jika mereka melakukan dosa yang tidak tergolong dosa berat (penyembahan berhala, berzinah dan membunuh).
III.
Kebudayaan
Kristen: Pembimbingan (Guidance) dalam
Kerajaan Gerejawi.
Periode ketiga dicirikan oleh pembimbingan
(guiding) orang-orang Kristen untuk berperilaku sesuai dengan kebudayaan
Kristen yang baru. Periode ini terjadi
ketika kekristen menjadi agama resmi di bawah kekaisaran Constantinus Agung,
dan berlanjut di dalam kekristenan Timur melalui budaya Byzantine. Pada periode ini, kekristenan berfungsi
sebagai pemersatu masyarakat dan gereja bertanggung jawab untuk kesatuan
dogmatis dan keseragaman gereja. Oleh
karena itu, fungsi pastoral yang ditekankan adalah fungsi membimbing
(guiding). Pada masa ini juga banyak
fungsi pastoral menjadi lebih formal.
Pelayanan penyembuhan (healing) terpusat pada pengurapan dengan minyak
suci, dan pelayanan pemulihan (reconciling) sebagian besar menjadi persoalan
pengaturan dan pemaksaan kebijakan gerejawi yang standar. Sedangkan pelayanan untuk member
dukungan/topangan (sustaining) hanya focus pada masalah khusus pribadi seperti
dukacita dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Semuanya ini dilakukan dalam rangka
memperkuat Pembimbingan.
IV.
Abad-abad
Kegelapan. Pembimbingan orang Eropa
secara Induktif.
Di Barat, di awal abad ke 5 gereja menghadapi
tugas raksasa untuk menarik gerombolan-geromnblan masyarakat primitive yang mendiami
wilayah eropa Barat. Fungsi pembimbingan
ternyata cocok untuk meyakinkan masyarakat barbar agar mau menerima penjelasan, diagnose dan
perbaikan dari agama Kristen untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Gereja mengembangkan pembimbingan yang
bersifat induktif.
Pemeliharaan jiwa berlangsung di
biara-biara menjadi standar penggembalaan.
Gagasan biara menimbulkan skema perkembangan rohani yang dapat mematikan
kesombongan dan memunculkan kerendahan hati.
V.
Umat
Kristen Medieval dan Penyembuhan
Skaramental. Era
ini membawa pemeliharaan pastoral dalam system sakramen yang dirancang untuk
menyembuhkan semua penyakit yang menyerang setiap segmen kehidupan umat. Hal ini terjadi karena pada akhir abad ke 11,
gereja Katolik telah menyebarkan kehidupan masyarakat Eropa. Peneguhan agama menjadi dasar dibangunnya
ikatan social. Universalitas dan
kesatuan gereja disimbolkan dalam Kepausan dan Kekaisaran Romawi. Pemeliharaan jiwa-jiwa dipusatkan berdasarkan
kuasa dari anugerah yang ilahi untuk menyembuhkan gangguan atas eksistensi
manusia. Para pastor menawarkan
penyembuhan ini dengan sarana yang opbjektif, wujud skaramental dari anugerah
itu.
VI.
Pembaharuan
dan Reformasi.
Bangkitnya individualism Renaissance dan Reformasi mendorong timbulnya
perhatian atas cure of souls dimana pelayanan pastoral lebih mengutamakan pemulihan
seseorang secara individu kepada Allah yang benar. Sebelumnya, pemulihan mengambil bentuk
sebagai perantara bagi umat atau sebagai pertolongan untuk mendapatkan
pengampunan ilahi secara mistis lewat sakramen.
Di abad ke 16 ini para gembala dan gereja memanfaatkan fungsi pemulihan
dengan cara disicipline. Tangga rohani
yang dipakai di biara sekarang diterapkan juga kepada para pendeta dan awam
kelas menengah.
Fungsi
pemulihan diinterpretasikan dengan berbagai cara. Seorang Kardinal Italia memahami pemulihan sebagai pembenaran
dosa-dosa individu di hadapan Tuhan.
Calvin mengembangkan system disiplin gereja dengan cara dimana pemulihan
hubungan dengan Allah melibatkan pemulihan hubungan dengan orang percaya
lainnya. William Tyndale memahami
rekonsiliasi (pemulihan) dengan Allah untuk memulai hidup dalam pemulihan
horizontal.
VII.
Pemberian
dukungan di zaman Pencerahan. Penggembalaan Kristen focus dengan tajam pada
pemberian dukungan/topangan saat mereka melalui pengkhianatan dan
perangkap-perangkap dari dunia jahat yang mengancam.
Seorang
tokoh zaman ini, yaitu Baxter mendefinisikan penggembalaan jiwa-jiwa mengandung
dua hal:
1. Menyingkapkan
kepada manusia bahwa kebahagiaan, atau kebaikan utama haruslah menjadi tujuan
akhir mereka.
2. Memperkenalkan
kepada mereka cara-cara yang benar untuk pencapai tujuan ini, dan menolong
mereka untuk menggunakannya dan menghalangi mereka melakukan yang sebaliknya.
VIII. Era Pasca-umat Kristen. Munculnya lingkungan baru sebagai akibat
revolusi di akhir abad 18 dan awal abad 19 yang menentang masyarakat Kristen
yang sudah terbentuk sebelumnya. Peradaban
barat modern mendesak agama sebagai urusan pribadi. Karena agama adalah urusan pribadi, maka keanggotaan gereja ditempatkan
berdasarkan kerelaan dan menimbulkan keragaman dalam hal fungsi pembimbingan
gerejawi, keputusan yang beranekaragam terhadap orang-orang yang bermasalah
yang kemudian akan member dasar bagi psikologi dan psikologi agama.
C. Tinjauan Sejarah Teologi Pastoral menurut
Derek J. Tidbal
I.
Abad-abad permulaan
Tidball
mengatakan, bahwa pada abad-abad permulaan ada empat faktor utama yang
menentukan bentuk pelayanan pastoral:
-
Proses-proses pelembagaan yang alami
-
Perpecahan dan penjelasan untuk
mempertahankan iman yang ortodoks
-
Budaya dan intelektual pada zaman itu
-
Gereja sebagai minoritas yang dianiaya
Periode Pasca Rasuli
Dari
surat-surat Ignatius: pada masa ini terjadi
pemisahan antara pejabat gereja dan kaum awam
Bentuk pelayanan pastoral adalah penekanan akan perlunya menaati para
pejabat gerejawi. Motivasi pelayanan
untuk melindungi kawanan domba. Tugas
pastoral yang terutama adalah mengajar.
Dari tulisan Polikarpus, sktr tahun 110M,
kita mengetahui bahwa tugas pejabat gerejawi ialah menemukan kembali
orang-orang yangh tersesat, memperhatikan orang yang lemah dan tidak melalaikan
janda, yatim piatu dan orang miskin.
Sedangkan Klemens menekankan tugas pejabat gerejawi sebagai pendidik dan
penuntun. Cyprianus dalam pelayanannya
sangat menonjolkan tanggung jawaba pemeliharaan pastoral. Perkembangan selanjutnya, uskup ditempatkan
dalam puncak kekuasaan: Dalam disiplin
sebagai hakim, dalam doktrin sebagi pengajar, dalam penggembalaan sebagai
pengkhotbah.
Periode Paska
Konstantinus
Kaisar
Konstantinus bertobat tahun 312 dan iman Kristen menjadi agama resmi kekaisaran
Romawi. Pada masa ini pelayanan
penggembalaan dianggap sebagai panggilan yang tinggi dan kudus. Tuntutan terhadap gembala cukup tinggi:
gembala tidak boleh tercemar, dalam
kesucian dan harus memiliki sifat-sifat seorang malaikaf. Gembala tidak hidup bagi dirinya sendiri
tetapi bagi sejumlah besar orang.
Gembala juga digambarkan sebagai
pemandu yang dengan terampil mengemudi kapal gereja. Banyak orang yang mengharapkan pimpinan dari
gembala agar mereka dengan selamat melalui badai, arus dan
rintangan-rintangan. Tugas penggembalaan
juga dikiaskan dengan istilah medis sebagai tugas mengobati/menyembuhkan.
Agustinus
dari Hippo merumuskan tugasnya sebagai gembala sbb.: Memarahi orang yang
menimbulkan percekcokan, menghibur orang
kecil hati, membela orang yang lemah, menyanggah para penentang, waspada terhdapa berbag ai
jebakan, mengajar orang yang tidak bnerpengatuan, mengajarkan orang yang tidak
berpengathuan, menolong orang yang miskin, membebaskan ornag tertindas
dsb. Ia mengatakan: “Berkhotbah,
membantah, menegur, membangun, selalu siap sedia untuk menolong setiap orang,
itulah beban berat yang saya pikul”.
Bagi
Agustinus, pelayanan bersifat sacramental.
Ia percaya bahwa sakramen-sakramen dapat diadakn di luar gereja yang
benar tetapi tidak berhasil guna.
Akibatnya muncul pandangan bahwa sifat-sifat pribadi pelayan sakramen
itu kurang penting bagi keabsahan sakramen.
Keabsahan sakramen ditentukan oleh satu-satunya gereja yang benar, bukan
oleh pelayan itu.
II.
Abad
Pertengahan
Para pejabat gereja
memasuki abad pertengahan dilengkapi dengan karya Gregorius Agung berjudul Pastoral Rule. Namun kerohanian pejabat gereja telah merosot
karena gereja terikat dengan masalah-masalah duniawi. Usaha perbaikan muncul dan praktek pastoral
dirumuskan oleh Innocentius III sebagai memberi makan kepada kawanan domba
melalui teladan pribadi, melalui ajaran dan melalui sakramen dengan hikmat
ilahi dan kesetiaan yang tinggi kepada iman rasuli. Innocentius sangat mengerti arti penting
penggembalaan para pejabat gereja dengan mengatakan “Sang gembala harus rajin
dalam melaksanakan pemeliharaan pastoralnya agar tidak ada domba yang sakit dalam
kandang yang dapat menularkan penyakitnya.”
III.
Refomasi
dan Warisannya
Dua
persoalan besar reformasi: Bagaimana aku
mendapat Allah yang pemurah? Dan “Dimanakah aku temukan gereja yang
sejati?” Berdasarkan ini, terjadi
perubahan pelayanan pastoral dalam Reformasi.
Luther
berkata bahwa gereja sejati ditemukan dimana saja firman Allah
diberitakan. Tanda yang pasti untuk
mengenalki suatu jemaat Kriosten adalah bahwa disana Injil yang murni
diberitakan. Oleh karena itu, pelayanan
menjadi pelayanan Firman dan gembala menjadi pengajar kawanan domba, bukan
penyalur sakramen-sakramen. Pemeliharaan pastoral mengambil bentuk
penerapan firman Allah pada berbagai kebutuhan umat dan dorongan kepada umat
untuk percaya pada firman itu.
Salah satu tema dalam bimbingan
pastoral yang menonjol dari Luther adalh
penghiburan. Manusia membutuhkan
penghiburan tidak hanya saat menghadapi penyakit atau kematian tetapi ketika
menghadapi kebimbangan, kepoutusasaan, kekacauan dan pencobaan menyerang rohnya
.
Martin Bucer
Martin
Bucer menulis tentang pelayanan pastoral dalam karyanya Tentang
Pemeliharaan Jiwa-jiwa. Berdasarkan
Yehezkiel 34, Bucer berpendapat bahwa gembala harus:
a. Membawa
kepada Kristus dan ke dalam gereja, orang-orang yang tersesat karena dosa atau
kesalahan.
b. Memulihkan
kembali mereka yang telah mundur
c. Memulihkan
kembali mereka yang telah jatuh ke dalam dosa meskipun masih tetap di gereja
d. Memulihkan
orang-orang yang lemah dan sakit dan perlu dikembalikan kesehatan, kekuatan dan
kehidupan kristennya sekali lagi
e. Memelihara
serta meneguhkan mereka yang sedang mengikut Kristus.
Yohanes Calvin
Yohanes
Calvin lebih dikenal sebagai teolog akademis dan penegak disiplin gereja,
tetapi buka sebagai seorang gembala atau pengkhotbah. Namun, buku-buku tafsirannya penuh dengan
ulasan-ulasan pastoral dan surat-suratnya penuh dengan wawasan gembala. Calvin juga terlibat dalam pekerjaan pastoral
karena tahun 1550-1559 ia memimpin 170 upacara pernikahan dan sekitar 50
upacara baptisan.
Menurut Calvin, pekerjaan gembala
adalah “memberitakan firman Allah, mengajar, menegur, menasehati, mengecam,
baik di muka umum maupun secara pribadi, melaksanakan sakramen dan menjatuhkan
hukuman terhadap saudara seiman bersama dengan para penatua dan rekan kerja.
Richard Baxter
(1615-1691)
Baxter
adalah seorang tokoh dalam roformasi yang pernah menjadi kurator di Kidderminster,
kemudian pindah menjadi pendeta tentara selama lima tahun di Coventry dan
dengan the New Model Army. Kemudian dia
diminta kembali oleh jemaat sebagai vikaris Kidderminster pada tahun 1647.
Dalam karyanya The Reformed Pastor Baxter menjelaskan falsafah pelayanannya. Menurut Baxter, pelayanan menuntut
“ketrampilan, tekad dan kerajinan yang tidak kendor” dan bukan beban yang
ditanggungkan di atas bahu seorang anak.
Sang gembala haruslah seorang yang sudah bertobat. Kalau tidak, maka pelayanan khotbah tidak
akan menyelamatkan dirinya bahkan dapat meninabobokan dia dalam kerohanian
palsu dan memberikesan seolah dia sudah selamat.
Seorang gembala perlu dewasa secara
rohani, mengejar kesalehan serta harus bersemangat secara rohani. Jika kerohaniannya dingin, maka kerohanian
kawanan donmba pun akan demikian. Oleh
karena itu, jika kerohaniannya surut, ia dapat membangun dirinya dengan
disiplin rohani, dengan membaca buku yang membangkitkan semangat atau bermeditasi
tentang sesuatu hal yang besar. Mengabaikan
disiplin-disiplin tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
umatnya.
Ada tujuh sasaran pelayanan
gembala.Yang paling penting adalah berusaha membawa orang yang beklum bertobat
kepada pertobatan. Kedua: member
pengarahan kepada orang-orang yangh mencari kebenaran dan menyadari
dosanya. Ketiga, membangun mefreka yang
sudah di dalam Kristus. Keempat,
keluarga-keluarga perlu diperhatikan.
Kelima, orang sakit dikunjungi.
Keenam, orang yang bersalah perlu ditegur. Ketujuh, sang gembala perlu sungguh-sungguh
dalam melaksanakan disiplkin gereja.
George Herbert
(Anglikan, 1593-1633)
Akibat
reformasi, di kalangan gereja-gereja Anglikan muncul minat baru untuk
meningkatkan mutu perawatan rohani dan standar pelayanan. Salah seorang tokohnya adalah George Herbert
yang menulis The Country Pastor. Herbert mengatakan: “seorang gembala adalah
wakil kristus untuk menjadikan manusia taat kepada Allah.” Oleh karena itu, tingkah lakunya haruslah
kudus, adil, bijak, tidak memihak, berani, sungguh-sungguh, sabar, dan
menyangkal diri. Kalau ia sudah menikah,
rumah tangganya akan menjadi pola bagi jemaatnya. Ia harus menjadi pusat kehidupan jemaat,
menyenangi adat klebiasaannya yang lama kalau tidak merugikan gereja. Ia harus
menunjukkan pengetahuan tentang masalah pedesaan seperti bercocok tanam dan
memelihara ternak, tetapi juga bertindak sebagai guru, advokat dan domter bagi
umatnya.
Tugas rohani gembala terutama tiga.
a. Memimpin
ibadah jemaat dan melayankan sakramen-sakramen, baik di gereja maupun kepada
orang-orang sakit di rumah karena “ini merupakan penawar yang menenangkan dan
ampuh bagi jiwa-jiwa yang sakit karena dosa.”
b. Ia
harus mengajar umat dalam soal-soal iman melalui berkhotbah dan ketekisasi.
c. Kunjungan. Pada hari minggu , sesudah melakukan
tugas-tugas umum “sisa waktu dipakai untuk mendamaikan tetangga-tetangga yang
berselisih atau mengunjungi orang sakit, atau dengan menegur dan menasehati
jemaat yang tidak dapat atau tidak dicapai oleh khotbahnya.
Kaum Puritan
Di
antara orang-orang puritan berkembang
minat yang luas terhadap konseling rohani yang membicarakan masalah seperti
rasa tertekan, ketiadaan keyakinan, penderitaan, pencobaan dan kejatuhan dalam
dosa. Tokoh-tokohnya adalah John Owen,
Thomas Brook, Richard Sibbes, Robert Bolton, Thomas Manton, Thomas Goodwin dan
William Gurnall menggunakan perspektif pastoral ini dalam tulisan-tulisan
mereka mengenai teologi.
Tiga
pokok pemikiran mengenai pendekatan mereka.
Pertama, sebelum petunjuk atau
nasehat apapun diberikan, perlu untuk mengetahui keadaan rohani orang yang
mencari bimbingan. Ada perbedaan dalam
cara menangani seorang anak terang yang berjalan dalam kegelapan dan seorang
anak gelap yang berjalan dalam terang.
Penanganan untuk yang pertama adalah dengan memeriksa secara teliti
berbagai penyebab persoalannya disusul dengan penerapan alkitab dan petunjuk
tentang langkah-langkah praktis yang harus diambil. Kasus yang kedua tidak dapat diberikan
penawar apapun sebelum ia lebih dahulu menerima hidup dalam Kristus.
Kedua,
Orang-orang puritan bekerja berdasarkan apa yang sekarang diseb ut pendekatan
studi kasus. Pendekatan kepada masalah
dilakukan dengan cermat. Masalah
dijelaskan dan kemudian semua penyebabnya dicatat dan ditelaah. Jawaban selalu didasarkan pada Kitab Suci.
Ketiga,
penawarannya terdiri atas penerapan kitab suci dan juga atas petunjuk
praktis. Orang yang terbukti memiliki
iman yang membenarkan, akan didorong untuk melihat maksud-maksud Allah yang
lebih luas dalam mengizinkan pengalamannya, sebelum ia dinasehati untuk percaya
janji-janji atau ajaran-ajaran Kitab Suci yang sesuai. Tetapi diselang seling penelaahan Kitab Suci,
juga diberi nasihat praktis. Mis, kepada
orang-orang yang tidak memiliki keyakinan, mereka harus giat menggunakan kasih
karunia, taat, merenungkan jangkauan kemurahan Allah, memeriksa perbedaan
antara orang percaya dengan yang tidak percaya, berusaha untuk bertumbuh dalam
kasih karunia, menemukan apakah yang kurang dalam hal-hal berikut, seperti
kasih atau pengetahuan, yang seharusnya menyertai keselamatan.
IV.
Kebangunan
Rohani Injili
Kebangunan rohani
Injili menghidupkan perhatian kepada sifat dasar dan pekerjaan pelayanan. Pemahaman tentang perawatan pastoral pada
periode ini diungkapkan oleh John Wesley sebagai tugas menyelamatkan
jiwa-jiwa. John Wesley lebih lanjut
berkata: tidak hanya membawa jiwa-jiwa
untuk percaya kepada Kristus, tetapi membangun mereka dalam iman yang kudus. Wesley berpendapat, bahwa setelah orang
dibawa kepada Kristus, pada saat itulah perawatan yang utama dimulai.
Mengingat begitu banyaknya orang yang bertobat dalam
kebangunan rohani yang dilayaninya, John Wesley mempersatukan petobat-petobat
itu dalam perhimpunan-perhimpunan. Di
dalam perhimpunan-perhimpunan itu mereka mempraktekkan disiplin rohani, mendorong
untuk menghadiri ibadah umum dan bertumbuh dalam kesucian.
Di bawah perhimpunan ini, beroperasi dua kelompok atau
sel yang lebih kecil. Kelompok sel yang
pertama adalah pertemuan kelas, yang menyediakan perawatan pastoral bagi semua
anggota perhimpunan dan sekaligus sebagai pelaksana disiplin. Di dalam pertemuan kelas diberikan nasehat,
teguran, hiburan dan pengarahan serta persembahan uang untuk menolong orang miskin. Kelompok sel yang kedua adalah kumpulan kecil
dimana orang dapat saling mencurahkan perasaan dan saling memperbaiki serta
mengobati.
V.
Aliran-aliran
abad ke-20
Yang terpenting dalam
perkembangan teologi pastoral abad ke-20 adalah terjalinnya hubungan antara
teologi pastoral dengan psikologi. Hal
ini terjadi sesudah Perang Dunia II dimana pendekatan-pendekatan baru kepada
konseling diperkenalkan. Tokohnya yang
sangat berpengaruh adalag Seward Hiltner.
Menurut Hiltner,
teologi pastoral adalah teori teologi yang dihasilkan oleh telaah tentang
pekerjaan sang gembala dan gereja ditinjau dari perspektif penggembalaan. Ia
menolak pandangan tradisional yang memahami pastoral berhubungan dengan
disiplin, penghiburan dan pembangunan jemaat.
Justru isi utama disiplin ini menyangkut penyembuhan, pemeliharaan dan
pembimbingan.
Hiltner tidak hanya mengorganisasikan kembali disiplin
dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain teologi, tetapi juga membuat terobosan
dalam metode yang dipakainya. Ia
menekankan pentingnya metode studi kasus dimana interpretasi atas kasus harus
memperhitungkan bahwa manusia adalah makhluk yang terintegrasi dalam konteks
social tertentu.
Menurut Hiltner, penyembuhan meliputi pemulihan keutuhan
fungsional, suatu kondisi yang karena satu atau lain sebab, telah hilang. Dalam proses penyembuhan, orang itu harus
diperlakukan sebagai manusia utuh dab bahwa jiwa tidak dipisahkan dari
dimensi-dimensi hidup lainnya. Dalam
kasus dimana tidak ,mungkin terjadi pemulihan total, maka gembala melaksanakan
fungsi pemeliharaan. Dua situasi dimana
pelayanan semacam ini diperlukan, yaitu dalam hal kehilangan anggota keluarga
dan ketika menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tujuan pelayanan pemeliharaan adalah
menolong orang tersebut menemukan keberanian untuk menghadapi situasinya dan
member dia semangat baru.
Teologi
penggembalaan Injili
Salah satu tokohnya
adalah Eduard Thurneysen. Dalam bukunya A Theology of Pastoral Care dia berkata
bahwa factor eksklusif pemeliharaan pastoral adalah Firman Allah. Inti teologi pastoral adalah
mengkomunikasikan Firman Allah yang terutama dilakukan melalui khotbah. Dia hanya mengakui satu teknik pemeliharaan
pastoral yaitu percakapan. Walaupun
Thurneysen memberi tempat eksklusif padaFirman Allah, ia tidak mengesampingkan
psikologi dan psikiatri. Ia melihat
ilmu-ilmu ini sebagai alat bantu yang menolong pemahaman kita tentang
manusia.
Berbeda dengan Thurnesen, tokoh injili lainnya, Jay Adams
menolak bantuan psikologi dan psikiatri dalam konseling Kristen. Adams berusaha memunculkan kembali apa yang
dianggapnya sebagai kerangka alkitabiah bagi pemeliharaan pastoral. Ia berargumentasi bahwa penyebab utama dari
semua persoalan kita adalah dosa. Semua
penderitaan dan duka cita dapat dirunut kembali pada dosa Adam. Tugas konselor adalah menghadapkan konseli
dengan dosanya dan dengan tuntutan-tuntutan Allah dan cara untuk menghasilkan
perubahan.
Metode
utama yang ditekankannya adalah metode konfrontasi dalam arti konfrontasi
dengan prinsip-prinsip dan praktek alkitabiah.
Metode ini menekankan bahwa manusia harus berani menghadapi tanggung
jawabnya atas dosa dan kalau ia berbuat demikian ada harapan bahwa ia dapat
berubah karena ia setuju dengan keputusan Allah tentang kehidupannya dan siap
untuk mengalami perubahan. Setelah
masalah dikenali dari perspektif alkitab dan tanggung jawab diterima, maka
program perubahan dapat dibuat oleh konselor untuk membantu konseli berhenti
berkelakuan buruk dan melakukan perilaku yang benar.
Perubahan
yang dihasilkan adalah perubahan yang mendalam,
yang dikerjakan oleh Roh Kudus sebagai pihak utama yang terlibat dalam
semua konesling. Perubahan itu mendalam
karena mengubah sikap dan emosi seseorang.
D. Penutup
Tinjauan sejarah pelayanan pastoral
di atas memperlihatkan bahwa dari waktu ke waktu gereja mengembangkan pelayanan
pastoral secara kreatif untuk menolong jemaat agar tetap kudus dan mengalami
pertumbuhan secara rohani dalam tantangan dan konteks yang terus berubah. Clebsch dan Tidball mengingatkan kita bahwa
dalam setiap periode, gereja mengalami tantangan yang berbeda yang menuntut
gereja untuk mengembangkan pelayanan pastoral yang relevan sesuai dengan
jamannya. Sejarah memperlihatkan bahwa
pendekatan penggembalaan yang dilayankan oleh gereja ternyata berbeda-beda dari
waktu ke waktu.
Howard Clinebell mengatakan bahwa tujuan
dari seluruh penggembalaan dam konseling pastoral adalah untuk membebaskan,
memperkuat dan memelihara keutuhan hidup yang berpusat pada Roh.[3] Untuk mencapai tujuan dalam penggembalaan,
maka tugas kita adalah mengenali tantangan dan konteks dimana kita berada
sekarang dan memutuskan fungsi pastoral seperti apa yang sebaiknya dijalankan
dalam penggembalaan, metode dan bentuk pelayanan seperti apa yang efektif untuk
menolong jemaat agar dapat memiliki keutuhan hidup yang berpusat pada Roh yang
merupakan tujua dari seluruh penggembalaan.
Sejarah pelayanan pastoral memperlihatkan bahwa kita tidak bisa begitu
meneruskan pendekatan-pendekatan yang selama ini telah dilakukan dalam
pelayanan pastoral karena mungkin sudah tidak relevan lagi dengan jaman
kita.
Daftar Pustaka
Clebsch,
William A dan Charles R., Pastoral Care
in Historical Perspective. New
Jersey: Jason Aronson Inc. 1983
van
den End, Th., Harta dalam Bejana: Sejarah
Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995.
Hiltner,
Seward, “Pengantar untuk Teologi Pastoral” dalam Homes, Tjaard G. dan E. Gerrit
Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral:
Antologi Teologi Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Tidball,
Derek J., Teologi Penggembalaan: Suatu Pengantar. Diterj. oleh: M.
Rumkeny. Malang: Penerbit Gandum Mas,
2002.
[1] Buku ini dijadikan sebagai satu
bagian tersendiri dalam buku Teologi dan Praksis
Teologi Pastoral: Antologi Teologi Pastoral, ed.: Tjaard G. Homes dan E.
Gerrit Singgih yanbg diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dan Penerbit Kanisius
Yogyakarta.
[2] Lihat juga Harta dalam Bejana, hal. 30 yang menyatakan bahwa kalau anggota
jemaat kedapatan berbuat dosa, ia dikucilkan dari jemaat. Dan pada abad ke 2 seseorang tidak diberi
kesempatan untuk menyesal dan kembali kepangkuan gereja jika melakukan dosa
berat (murtad, pembunuhan, berzinah).
[3]
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral.
Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2002, p. 33.